Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

(Cerpen) Terapung

21 Januari 2010   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 119 0
[yang ini, ditulis waktu Tsunami Aceh, kalo gak salah diterbitkan di buku sumbangan buat Aceh. Lumayan berkesan bagi saya....]

Terapung

Haekal Siregar

Tertancap paku, aku tidak dapat merasakan sakit lagi sementara bayangan ibu dan istriku di rumah lebih menancap di benakku. Deru air yang menggulung terdengar begitu jelas mendekat, memacu detak jantung dan adrenalinku. Ratusan orang di sekitarku berdesakan dan berlarian mencoba mencari perlindungan.

“Seratus meter lagi!” jeritku memohon.

Sekilas terlihat bayang ibuku yang berlari keluar dari rumah begitu menyadari apa yang terjadi. Sesaat sebelum aku bisa memanggil ibuku, air berkecepatan 250 km/jam itu menggulungku.

Terhempas menghantam tanah, terbentur puluhan balok yang terhanyut, aku menelan begitu banyak air mengandung lumpur, sementara tertarik arus yang demikian deras menghantam. Kucoba membuka mata namun secepatnya menutupnya lagi karena perih terkena asinnya laut.

“Tak ada yang selamat dalam kondisi ini!” ucapku dalam hati pasrah.

Dan aku benar-benar memasrahkan diri dengan mengucap istigfar dan melemaskan seluruh tubuhku. Tepat sebelum sebuah pintu kayu menghantam belakang kepalaku dan menenggelamkan kesadaranku.

***

Dengan kebingungan aku merasakan kedamaian di sekitarku. Mataku masih malas membuka, sementara darah terasa menetes di kepala dan punggungku yang terbentur segala macam benda. Kupaksakan membuka mata dan meneliti keadaan dan sekitarku.

Rupanya secara refleks, pintu yang menghantam kepalaku langsung kupegang erat-erat. Pintu yang merobek belakang kepalaku sekaligus menolong menjagaku tetap mengambang di atas air. Rakit darurat ini lumayan besar, lebih besar dari ukuran tubuhku sendiri. Rupanya pemilik pintu ini sebelumnya termasuk orang kaya yang pasti memiliki rumah besar sekali. Mungkin cukup besar untuk bertahan terhadap terjangan arus, tapi kurang begitu tahan untuk menjaga pintu rumahnya tetap menempel.

Dengan kebingungan, aku mencoba memikirkan apa yang telah terjadi. Kilasan bayangan-bayangan yang menyakitkan. Yang kuketahui hanyalah getaran keras, aku keluar dari rumah mencoba mencari tahu apa yang bisa kubantu, sebelum semua orang berlarian menjauhi pantai sambil berteriak-teriak.

“Dan sekarang, apa yang dapat kulakukan?” tanyaku kebingungan sebelum menyadari situasi sebenarnya yang sedang kujalani.

Dengan mulai meneteskan air mata, aku mulai mengingat dan bertanya nasib ibuku, istriku, anakku, adikku, rumahku, semua yang kukenal dan kuketahui. Sementara aku terapung, terbawa arus yang kini membawaku semakin jauh dari pantai. Membawaku semakin jauh ke tengah laut!

***

Tiga hari terapung di tengah deburan ombak yang tenang seakan tidak pernah terjadi apapun. Tenggorokanku terasa terbakar oleh haus, sementara seluruh luka di punggung dan belakang kepalaku terbasuh air asin laut yang semakin melebarkan sobekannya. Tapi semua tertutup oleh rasa sakit kaki kiriku yang semakin membengkak, dan mulai membusuk pada luka bekas tusukan paku yang kucurigai mulai meracuni tubuhku dengan tetanus.

“Allah! Allah! Allah! Kupasrahkan diri pada-Mu! Kupasrahkan keselamatan keluargaku pada-Mu! Hiduplah aku bila itu ingin-Mu! Matilah aku bila memang Kau ingin aku kembali,” erangku lemah.

Walau tak tahu waktu, kucoba sholat di atas rakit ini. Dengan lemah dan pasrah, kucoba terus berdzikir sementara beberapa mayat terlintas di dekatku. Mayat-mayat yang tadinya kukenal. Mayat-mayat yang tadinya tetanggaku. Mayat-mayat yang sebelumnya sempat sholat subuh berjamaah sebelum cobaan ini berlangsung.

***

Di tengah gulitanya malam, kudengar rintihan lemah di dekatku.

“Halusinasi,” pikirku muram.

Untuk sesaat, tak terdengar suara lagi.

“Tolooong…!” rintihan itu menyentakku lagi.

Kutajamkan pandangan pada sesuatu yang mengapung di sebelah kananku. Sesosok tubuh tambun terlihat memeluk sebatang pohon kelapa dengan lemah.

“Aziz!” teriakku dengan penuh semangat mengenali sosok adikku.

Tanpa berpikir panjang, aku melompat dan berenang sekuat tenaga yang masih kumiliki, setelah empat hari tanpa makanan dan minuman. Dengan tenang, air seperti merestui semua tindakanku. Kutarik Aziz ke pintu rakitku. Masih ada ruang untuk seorang lagi untuk pintu sebesar itu!

***

“Khalid… Ibu mana?”

Kata yang sama terulang lagi dari bibir Aziz. Semalaman kondisinya tak berubah, istilah yang lebih berfungsi untuk menghibur diriku sendiri untuk tidak menyebutkan ‘semakin buruk’.

“Ikhlaskan semua… Ibu selamat atau tidak, ikhlaskan semua, Dik,” jawabku sama dengan ratusan jawaban serupa untuk pertanyaan Aziz.

Suhu tubuh Aziz yang semakin meninggi begitu mengkhawatirkanku. Tak sanggup aku melihat mata kanannya yang tertancap potongan kayu yang tak berani kuambil.

Seketika titik-titik bening bagai tercurah dari langit.

“Hujan turun, Dik, kita bisa minum,” bisikku penuh semangat, mencoba menampung sebanyak mungkin air tawar dengan botol aqua yang kutemukan mengambang di dekatku.

Hilang sudah semua dahagaku. Aku bersujud syukur atas berkah ini sebelum mulai menampung lagi untuk adikku.

“Kak, haus…” bisik Aziz lemah.

“Minumlah, air ini segar sekali!” hiburku sambil memberikan botol air kepada Aziz.

Penuh kelegaan, ia meminum air dengan rasa haus tak teperi. Aku kembali membaringkan diri, mencoba menghemat energi sebisa mungkin.

“Kak, bagaimana ya nasib Ibu?” tanya Aziz tiba-tiba.

Aku hanya bisa terdiam. Tak adil rasanya berbohong pada saat seperti ini.

“Aku yakin ada hikmah besar di balik kejadian ini…” lanjut Aziz lemah.

Aku kembali hanya terdiam. Hanya bisa mengangguk dan mengiyakan.

“Allah pasti selalu memberi yang terbaik pada umat-Nya,” Aziz terus berbicara, hal yang kukhawatirkan akan menghabiskan tenaganya.

Aku menutup mataku. Silau. Juga ingin meresapi kata-kata adikku. Aku yakin Allah selalu memberi yang terbaik pada umat-Nya. Tapi benarkah kami umat-Nya yang baik? Aku membayangkan diskotik-diskotik gelap di bawah lindungan beberapa aparat yang tergiur sogokan pengusaha. Kehidupan malam di tengah ibukota propinsi satu-satunya yang menerapkan syariat Islam!

“Entahlah…” jawabku pendek pada akhirnya. Walaupun Aziz entah mendengarnya atau tidak lagi sanggup mendengar.

“Alhamdulillah…” kata terakhir Aziz sebelum melepaskan semua napas kehidupannya dengan wajah yang lega dan bersyukur.

Tak ada lagi air mata yang dapat kukeluarkan. Mungkin memang ini yang terbaik, aku tidak tahan lagi melihat penderitaan Aziz.

***

Tak tega rasanya menghanyutkan jazad Aziz. Ia berhak mendapatkan pemakaman yang terbaik. Sudah hari keenam aku terapung di tengah laut. Rasa lapar, panas, haus, semua mulai memberikanku halusinasi yang luar biasa. Terkadang aku merasa berada tepat di depan markas perjuanganku di gunung. Bersama rekan-rekanku, berjuang melawan penjajahan atas tanah rencong. Merencanakan semua tindakan yang mereka sebut sebagai ‘operasi GAM’.

Terkadang pula, aku berada di kampungku. Shalat berjamaah bersama di masjid, bermain bersama anakku, dan berjalan-jalan dengan istriku. Dapat dengan jelas kurasakan belaian lembut tangan ibuku yang mulai keriput di sela rambutku, sementara aku menasihati Aziz untuk tidak mengikuti jejakku dan mengurus ibuku terlebih dahulu.

Dan akhirnya, ketika halusinasiku mencapai titik puncaknya, aku merasa sedang bercengkrama dengan Aziz di atas dipan kayu rumah kami. Bukannya mengapung di tengah laut seperti ini. Mengobrol seperti yang biasa kami lakukan sejak kecil dulu. Membicarakan teman, menertawakan lelucon, memprihatinkan keadaan Aceh yang selalu rusuh.

Jazad Aziz mulai menggembung dan membusuk. Seharusnya segera dilepas saja ke lautan bebas. Tapi…, aaah! Ia adikku. Takkan kubiarkan ia menjadi makanan ikan. Ia layak mendapat penguburan sewajarnya di kampung kami.

Aku masih sholat pastinya. Walaupun pernah kusadari aku sholat ashar di tengah malam. Sebelum aku akhirnya mengulang sholat isya, walaupun sekarang setiap gerakan mulai menyakiti semua sendiku.

Dengan lemah, aku memandang botol yang kini hanya terisi seperempatnya. Seirit apapun aku meminumnya (hanya seteguk setiap hari), tetap saja suatu saat air itu akan habis. Aku tersenyum membayangkan kemungkinan menyusul adik, istri, dan ibuku.

“Aku harus mempersiapkan sebaik-baiknya!” tekadku sambil terus berzikir.

***

Aku baru saja selesai shalat subuh ketika terdengar deru keras di depanku.

“Apakah ini salah satu halusinasiku?” tanyaku berdebar.

“Tidak, memang ada perahu di depan!” jawabku sendiri.

Aku berdiri sebisa mungkin sambil menjaga keseimbanganku di atas rakit pintuku. Dengan bersemangat, aku melambaikan tangan ke arah perahu itu.

“Woooooi… Toloooong!”

Ketika bayangan kapal mulai terlihat, aku menyadari dengan penuh kekagetan bahwa itu adalah kapal perang RI!

Dengan panik aku bertiarap dan reflek mencari pistol di saku belakangku yang tentu saja tidak kutemukan. Namun, gerakanku yang tiba-tiba tadi rupanya terlalu mengguncangkan rakit!

Tanpa bisa kucegah, jazad Aziz tercebur ke laut!

Dengan pandangan yang berputar, aku melihat jasadnya terbawa arus menjauhi rakit pintu. Panik kuceburkan diri ke laut. Mengerahkan semua tenaga yang masih ada untuk mengejar jazad yang timbul tenggelam. Tapi pandanganku terlalu berputar untuk dapat menentukan arah. Aku berbelok ke kanan sebelum menyadari bahwa aku seharusnya berbelok ke kiri.

“Allah! Allah! Selamatkan jazad adikku! Allah!” teriakku yang menyebabkan air asin laut membanjir memasuki mulutku dan membuatku semakin pusing.

Pandanganku mulai dipenuhi bintang-bintang, walaupun aku terus berenang ke arah yang kupikir semakin mendekatkanku kepada adikku.

Kemudian rasa nyeri terasa begitu menghantam kakiku. Luka yang membusuk pada kakiku rupanya tidak kuat lagi menahan garam laut. Rasa nyeri itu terasa begitu hebat, sehingga aku tidak dapat menggerakkan tubuhku lagi. Dan aku pun mulai tenggelam…

Tepat sebelum literan air asin amis membanjiri paru-paruku, aku sempat meraih kaki Aziz. Memberikanku semangat dan kelegaan yang melebihi perihnya tenggorokanku. Aku menariknya lebih kencang. Paling tidak, aku ingin tenggelam bersama Aziz.

“Ya Allah…”

Praaas….!

Dan aku menyadari bahwa yang kugenggam dan kutarik, hanyalah potongan kaki Aziz yang membusuk dan terlepas dari tubuhnya. Sementara jazadnya terus mengapung menjauh seakan mengucap selamat tinggal.

Kenyataan yang benar-benar menghancurkan seluruh stamina dan harapanku. Kupasrahkan tubuhku melayang ke dasar lautan. Sekilas kurasa aku mendengar suara orang yang menceburkan diri bersama-sama. Kemudian aku lihat sekitar sepuluh marinir TNI berenang ke arahku!

Dengan panik dan kesadaran yang makin menipis, aku mencari-cari apapun yang dapat dijadikan bahan pertahanan diriku, perlawanan terakhirku!

Ketika tangan-tangan itu menarikku ke atas air, kudengar suara lembut dari seorang prajurit.

“Tenanglah, Saudaraku, tenanglah. Saudara selamat! Kami akan berusaha menyelamatkanmu!”

Kata-kata yang membuatku tertegun dan menghentikan seluruh rontaan dan berontakku. Aku memandang wajah prajurit yang sedang berjuang berenang menyelamatkanku. Kemudian kusadari tanda hitam di keningnya. Tanda yang biasa dimiliki oleh orang yang sering melaksanakan shalat lail. Tanda yang dimiliki oleh seorang muslim. Tanda yang dimiliki oleh saudaraku!

Sebelum kegelapan melandaku, sempat terbayang di pelupuk mataku, pertempuran terakhir kami. Pertempuran antara GAM dengan TNI. Bayangan mengenai tembakanku yang mengenai dada seorang prajurit, dan lemparan granat dari TNI yang tepat kena pada seorang komandan kami.

Perang!

“Subhanallah… Dia masih hidup!”

“Cepat, naikkan siniii!”

“Sebelas hari, ya? Ini benar-benar ajaib!”

Suara-suara itu semakin ribut, tapi semakin sayup. Dan seluruh energiku terkuras sudah. Maka, kubiarkan segalanya terapung, terapung dan terapung… Gelap gulita!

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun