Setiap memasuki musim penghujan, kalimat banjir kiriman akan menjadi sebuah kalimat yang sangat umum didengar dimana-mana. Seolah-olah kalimat sakti yang mampu menyihir para pejabat-pejabat untuk segera berbenah dengan daerah yang selalu menjadi langganan banjir tersebut. Selalu, setiap tahun. Dengan kata-kata ‘banjir kiriman’ seolah-olah daerah hulu sungai adalah daerah yang paling bersalah karena telah mengirimi bencana kepada daerah hilir. Daerah hulu sungai, biasanya adalah daerah resapan air berupa hutan yang berada di Gunung. Daerah ini menjadi daerah yang penting yang bisa menjaga stabilitas regulasi air dari hulu ke hilir. Lalu mengap kalimat banjir kiriman ini menjadi sebuah tag khusus di setiap musim penghujan? Saya bukanlah penggiat lingkungan, tapi saya memiliki sedikit kepedulian kepada teman-teman yang selalu menjadi korban dari banjir kiriman tersebut. Sedikit pengalaman dengan apa yang saya tuliskan kemarin dalam “
foresta for our forest”, sebagai reportase hasil wawancara dengan bapak A.P.Royani (salah satu penggiat lingkungan peduli lahan kritis di Cianjur), agaknya kegundulan hutan di daerah hulu menjadi penyebab banjir kiriman tersebut. “setiap satu menit, hutan di TNGP gundul seluas lapangan bola” Demikian pak Ape menuturkan pengetahuannya kepada saya pada wawancara tersebut. Pagi ini saya membaca liputan6.com, dan disana dituliskan bahwa terjadi banjir kiriman di daerah kampung pulo Jakarta. Banjir kiriman ini dipengaruhi oleh debit air di bendung katulampa-Bogor. Dan debit air katulampa ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca di kawasan puncak. Maksudnya, jika Puncak hujan maka debit air makin besar. Kenapa bisa demikian? Ya,itu karena daerah Puncak (yang merupakan bagian dari Kaki gunung Gede Pangrango sebelah barat) telah mengalami alih fungsi. Daerah yang seharusnya menjadi resapan air itu, kini berubah menjadi daerah kawasan wisata dimana banyak orang-orang kaya yang mendirikan villa. Dengan adanya alih fungsi tersebut, maka otomatis kawasan yang tadinya adalah kawasan hutan dengan banyak pohon menjadi kehilangan pohon-pohon yang berfungsi untuk menyerap dan menahan regulasi air.
A.P.Royani, salah satu penggiat foresta - foto:dok.pribadi
KEMBALI KE ARTIKEL