Aku pernah berbincang-bincang dengan seorang client, PNS golongan atas. Dia bilang, "Pak Hadi, THR itu ga ada anggarannya jadi kita harus pinter-pinter mensiasatinya." Aku tak begitu mengerti ucapan orang itu ketika itu karena aku begitu lugu. Tapi dengan adanya kasus di kemenakertrans aku baru sadar bahwa sebuah institusi pemerintahan membutuhkan dana untuk THR para staff-nya. Dan dana itu harus segera cair segera sebelum Idul Fitri. Mengenai sumber, tak penting buat mereka, mau pinjaman, sogokan, gratifikasi, pelicin dan dari sumber tak jelas lainnya. Yang penting para karyawan bisa memperoleh THR minimal satu bulan gaji.
Seorang client lain, seorang akuntan di sebuah perusahaan asing di kawasan industri di Kabupaten Bogor pernah mengeluh kepadaku. "Pak, saya pusing banyak instansi pemerintah, aparat, dan ormas yang meminta dana ke perusahaan kami untuk THR sedangkan bos saya yang dari Perancis nggak mau tahu menahu masalah ini." Jelas bagiku begitu banyak aparat pemerintah, keamanan dan ormas menggunakan istilah THR untuk 'memeras' perusahaan-perusahaan di daerahnya. Memeras, mengemis atau apapun jauh sekali dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Mungkin bos Prancis client-ku itu berpikir, "oh, jadi begini ajaran Islam."
Aku tak pernah mendapat THR seumur-umur. Hanya bebeapa client yang memberi sekedar sarung, baju koko atau pakain untuk anakku. Walaupun ada yang memberi amplop, itupun mereka mengatakan, "Pak, ini untuk anak bapak lebaran." Alhamdulillah istriku memahami keadaanku ini. Ketika orang lain ribut THR, kami sudah terbiasa dengan keadaan kami. Tapi dengan membandingkan kasus-kasus di atas aku merasa bahwa sebagai wiraswasta aku senang karena tidak harus mengemis, memeras atau melakukan tindakan dzalim lainnya.