Anehnya ketika ada yang mencaci kepala negara tidak ada komentar yang mengingatkan bahwa itu tidak etis. Saya setuju bahwa mengkritik di negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan tapi tentu ada etikanya, ada rambu-rambunya. Apalagi kita orang timur yang mempunyai banyak cara untuk menunjukkan ketidaksukaan kita kepada seseorang atau sesuatu. Kebanyakan para komentator malah ikut-ikutan menambahkan caci maki dibawahnya. Ini berbeda jika ada kompasianer yang menuliskan caci maki kepada sebuah brand, pasti ada komentator yang merespon dengan kata-kata : "Hati-hati pak/bu, Anda bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan dipenjara."
Pernah saya membuat tulisan agar para penggemar burger berhati-hati karena ada laporan yang mengatakan bahwa daging sapi yang dipotong itu tidak sesuai syariat. 90% komentator merespon dengan keras dan menyuruh saya hati-hati dengan tulisan itu. Padahal saya tidak menambahkan opini dan menyebutkan restoran burger tertentu.Begitu juga ketika ada kompasianer yang menuliskan keluhanya tentang modem provider tertentu (kali ini dengan menyebutkan brand-nya) sebagai rampok, beberapa komentator menyuruhnya hati-hati karena nanti bisa dituntut. Memang setelah kasus Prita Mulyasari yang curhat tentang layanan rumah sakit OMNI melalui maillist kepada teman-temannya dan berujung penjara, banyak orang trauma menuliskan komplainnya di forum online.
Sekarang orang cenderung berhati-hati menuliskan komplain tentang brand tertentu karena takut dituntut dan dipenjara. Ada yang mengakalinya dengan karakter *Â untuk menggantikan beberapa huruf terakhir dari brand tertentu. Semua orang takut masuk penjara. Kalau menghina presiden? Ah itu biasa...