Tidak mengherankan kalau para petani rindu jaman orde baru. Ketika itu pemerintah masih otoriter dan tiran, namun perhatian pemerintah terhadap petani sangat-sangat tinggi. Lihatlah acara klompencapir (kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa) di televisi yang berlangsung hingga tiga jam di TVRI pada malam minggu, dan itu pada jam prime time. Belum lagi acara "laporan khusus" bincang-bincang presiden dengan para petani. Pak Harto yang di akhir pemerintahannya dianggap gagal adalah seorang kepala negara yang paling dekat dengan petani. Kalau sudah berbicara soal pertanian dan peternakan bisa sampai berjam-jam. Mungkin bagi pemirsa non-petani acara itu menjemukan dan "garing".
Saya termasuk orang yang menyenangi dialog presiden (siapapun presidennya) dengan petani atau nelayan. Di situ kita dapatkan gambaran tentang apa yang terjadi di akar rumput. Bukan rahasia bahwa pejabat di daerah jarang turun ke lapangan dan suka memberi laporan ke atasan ABS. Di jaman reformasi ini petani benar-benar ditinggalkan oleh para penyelenggara negara (eksekutif dan legislatif) dan media. Mereka hanya dijadikan alat oleh para politikus menjelang kampanye.
Kerinduan saya mendengarkan dialog presiden (SBY) dengan para petani dan nelayan tidak kesampaian kali ini. Seperti diketahui dari hari Senin hingga Jumat SBY melakukan safari Ramadhan ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. Perjalanan yang diawali dari Ciawi ini dilanjutkan ke Cianjur, Tasikmalaya, Purwokerto, Cilacap, Bumiayu dan diakhiri di Tegal tidak mendapat tempat dalam pemberitaan telivisi. Saya hanya menyaksikan kegiatan safari Ramadhan presiden di running teks pemberitaan TV. Padahal di safari itu presiden berdialog dengan para pengrajin industri kecil, petani dan nelayan. Saya hanya bisa mengikuti pemberitaan safari Ramadhan presiden dari media online. Berita televisi hanya dipenuhi dengan berita Nazarudin, Libya dan arus mudik.
Mungkin semua ini disebabkan oleh skeptis dan apriori media dan pengamat terhadap SBY. Apapun yang dilakukan SBY pasti salah. Kalau hanya di istana dikomentari tidak tahu hal yang sebenarnya di lapangan. Tapi kalau berdialog dengan rakyat dianggap sedang tebar pesona dan sedang melakukan politik pencitraan. Coba kalau ada kunjungan presiden ke bursa efek pasti media sangat antusias meliputnya.