Mungkin judul diatas terkesan kontroversi, sebagian orang boleh tidak percaya atau bahkan mengecam opini pribadi penulis. Memang benar, Nasionalisme dan komitmen kesetiaan terhadap negara itu bukan hanya muncul di suatu tempat atau keadaan tertentu. Tetapi cukup menarik untuk dicermati bahwa ada sebagian kalangan masyarakat yang sikap nya berubah menjadi sangat nasionalis, rela mengorbankan waktu, tenaga dan materi ketika Tim nasional Sepakbola (PSSI) bermain di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Kebetulan, kemarin saya bersama beberapa kerabat saya menyempatkan diri untuk datang ke
Venue SUGBK untuk menyaksikan dan memberi semangat tim
Garuda Muda (Indonesia U-23) yang berhadapan dengan
Harimau Malaya (Malaysia U-23) dalam pertandingan terakhir Grup A pada SeaGames 2011 ini. Awal nya, saya memprediksi pertandingan ini akan sepi penonton mengingat status timnas U23 yang sudah memastikan tiket semifinal dan pertandingan diadakan pada hari kerja. Tetapi prediksi saya terbukti salah total. Sesampainya di SUGBK pukul 5 sore, sudah ramai sekali para fans
Garuda Muda, rata-rata mereka datang dalam kelompok, ada juga yang datang dengan pasangan nya masing-masing. Rata-rata yang datang masih berstatus pelajar SMP, SMA dan masih mengenyam bangku kuliah. Memang ada beberapa sekolah dan institusi pendidikan lain yang sengaja meliburkan siswa nya, langsung timbul pertanyaan dalam diri saya, "Apakah sekolah diliburkan hanya untuk memberi kesempatan para siswa mendukung Timnas U23 atau para kontingen di cabang olahraga lain? Apakah Nasionalisme yang seperti ini lebih penting daripada pendidikan?" Sempat terjadi sedikit kericuhan ketika para suporter berusaha untuk masuk ke tribun SUGBK karena pintu yang dibuka hanya satu disetiap sektor. Para suporter pun meminta kepada beberapa petugas dari satuan kepolisian yang ikut menjaga pintu tribun agar segera dipersilahkan masuk, bahkan ada petugas yang beradu mulut denga beberapa suporter dan hampir terjadi aksi kontak fisik, untung nya kejadian itu dapat segara dilerai oleh para suporter dan polisi lain nya. Aksi saling dorong diantara para suporter rebutan masuk ke pintu tribun pun sempat terjadi. Tapi masyarakat yang antusias untuk menyaksikan sang
Garuda Muda pun seaakan tak peduli dan memiliki kekuatan lebih untuk bisa melewati rintangan ini. Situasi seperti ini memang bukan baru terjadi kemarin sore saja. Ketika perhelatan piala AFF 2010 silam, kejadian-kejadian serupa pun sering menghiasi headline media negeri ini. Sebagaimana yang kita ketahui, kericuhan pun sering terjadi dalam proses penjualan tiket di loket-loket disekitar SUGBK. Kericuhan yang dipolitisasi dan pendistribusian tiket yang dikomersialisasi pun semakin menjadi menambah panas suasana. Tetapi para suporter dengan setia dan ikhlas menunggu, kelaparan, kelelahan, kehujanan hanya untuk bisa menyaksikan timnas Indonesia bermain. Apakah jiwa dan semangat Nasionalis sebagian rakyat Indonesia hanya muncul ketika Timnas Indonesia bermain? Makna nasionalisme itu luas dan bukan hanya saklek di bidang sepakbola atau cabang olahraga lain nya saja. Seorang guru sekolah seperti tokoh
Oemar Bakri dalam lagu om Iwan Fals,lebih layak di sandangkan sebagai seorang yang nasionalis, dengan dedikasi tinggi mereka dapat menelurkan banyak tokoh-tokoh pemimpin besar, yang mungkin akan menjadi karakter protagonis dalam sila ke-4 butir Pancasila; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Atau mungkin para tukang sampah yang setiap hari dengan setia membersihkan jalanan ibu kota dari berbagai macam sampah seperti botol minuman atau sekedar puntung rokok yang dengan santai nya dibuang oleh para masyarakat yang mungkin sebagian dari mereka mengaku mempunyai jiwa nasionalis tinggi. Para tukang sampah terus bekerja setiap hari tanpa memperdulikan occasional event seperti piala AFF atau Sea Games. Tujuan mereka ialah menciptakan jalan-jalan ibu kota yang bersih, resik dan indah supaya bisa dinikmati oleh seluruh pengguna jalan. Baik pejalan kaki, pengendara mobil ataupun supir busway. Bukankah itu juga tercermin dalam sila ke-5 Pancasila yang berbunyi; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nasionalisme itu lebih bermain di mental seseorang, bukan sekedar implementasi sikap belaka.
KEMBALI KE ARTIKEL