Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jembatan dan Tembok

4 Februari 2010   11:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05 84 0
Ada kata-kata bijak, manusia kesepian karena mereka membangun tembok dimana seharusnya jembatan.

Saya langsung percaya waktu membaca kata-kata itu untuk pertama kali. Mungkin karena beberapa alasan, seperti salah satunya, saya sendiri mahir dan suka membangun tembok. Cuma dalam batas dan kadar tertentu yang sayangnya masih cukup sering membuat diri sendiri sadar, saya kesepian. Tidak sering memang, tapi ada.

Beberapa waktu lalu saya sedang berada di halte bis. Ya halte bis Indonesia yang ramai, panas dan kurang termanfaatkan perannya sebagai tempat turun dan naik penumpang. Tapi untuk berteduh menunggu kendaraan umum, boleh lah. Kebetulan saya sedang dalam perjalanan untuk hadir di resepsi pernikahan seorang teman jadi pakaian saya cukup membuat saya percaya diri. Namun sayangnya bukan kostum yang terasa tepat di pinggir jalan yang lingkungannya tidak seteratur dan seaman harapan saya. Tempat yang biasa memang, saya sering berada di situ, tapi hampir tidak pernah kesempatan berada di situ muncul bersamaan dengan kesempatan mengobrol dengan orang yang tidak dikenal. Salah satu penyebabnya mungkin seperti yang saya sebutkan di atas, saya kadang membuat tembok. Dan pembelaan diri saya langsung menyeruak, apa lagi yang mau dibuat jika saya merasa di tempat yang bisa mengintimidasi bahkan mengancam kelangsungan isi dompet saya? Tembok, tembok setebal-tebalnya dengan menara jaga dan menara pengawas agar sambil waspada, terus berjaga-jaga.

Nah waktu kesempatan mengusir kesepian tatkala bis yang ditunggu tidak kunjung datang, seseorang menghampiri saya dan duduk lalu mulai mengajak bicara.

"Mau kemana mas?" Pertanyaan pembuka yang sesuai teori pendekatan pada orang baru, tidak panjang, mudah dijawab dan aktual kontekstual, sesuai lokasi. Reaksi saya jelas terkejut tapi teredam hanya untuk sendiri. Reaksi yang banyak disebabkan amat jarangnya disapa di tempat seperti itu, dan lagi, pakaian saya, celaka, apa dia mengincar sesuatu. Begitu langsung pikiran saya berkerja cepat. Alarm berbunyi nyaring, memperingatkan. Jam tangan saya, atau apa dompet saya terlalu menyembul di belakang, handphone mungkin? Apa dia sendirian atau ada komplotannya?

Jadi saya tersenyum lalu menjawab,ke Kota, tunggu bis nomor 27. Itu betul, jadi saya memulai dengan kejujuran yang sportif. Oh, ke arah Kota... dia menyambung, saya mengiyakan saja dengan anggukan. Saya lalu memperhatikannya, dia bersendal jepit. Dia juga memegang barang jualannya dalam kantong plastic transparan. Permen karet yang katanya bisa sekalian memutihkan gigi, puluhan kotak jumlahnya.

"Lama nih Pak, apa sudah lewat tadi?" Tanya saya balik supaya tidak berkesan tidak sopan. Bagaimanapun dia memulai dengan sopan toh? Saya juga tahu pertanyaan ini bisa ditujukan pada siapa saja baik itu sesama calon penumpang atau juga seperti dirinya, pengembara dan penjaja yang mahir akan daerah tempat mereka berada. Jadi di luar apa orang ini penipu berbahaya atau tukang hipnoptis licin, saya bisa menemukan jalan keluar bila angkutan yang saya maksud tiba.

"Oh belum, memang sudah agak lama." Jawabnya menengok ke arah jalan. Jadi saya sekalian menemukan kesempatan untuk melihat-lihat apa dia punya komplotan atau malah lebih mengerikan, jaringan yang siap menyergap saya. Jadi sambil tengak tengok ke arah jalan, saya juga menengok sisi lain di samping tukang gorengan dan di belakang tempat beberapa penjaja suara jalanan sedang mengobrol. Seakan dari balik menara pengawas, saya melirik dan menemukan dekat tempat sampah ada tiga orang sedang mengobrol, tapi nampaknya sama sekali tidak melirik ke arah saya. Aman? Sejauh ini sepertinya iya.

"Kerja di daerah sini Pak?" Lanjutnya sambil tersenyum, sesekali menatap bawaannya yang ditariknya sedikit pada jinjingannya.

"Iya, di sana." Pendek saja sambil menunjuk sekenanya. Tembok saya tidak mengijinkan banyak celah kan, jadi jawaban ini benar, dan cukup.

Dia diam sebentar dan menengok lagi, "saya ada saudara kerja di daerah Kota, tiap hari jam enam berangkat, pulang sudah jam delapan, sembilan."

"Oh, iya, jauh sih..." Saya jelas sudah merasa makin tidak nyaman dan mengumpati jadwal bis yang cenderung menurutku aneh dan sulit ditebak.

"Kalau si Mas-nya kerja di bagian apa?"

Saya menjawab sekenanya, dan mengarahkan leher menjauhi wajahnya menatap penuh harap pada arah tempat bis seharusnya datang. Sambil terus mencoba menyembunyikan kegelisahan sebisa mungkin dengan maksud menghargai dan mulai menenangkan diri. Walau rasanya ada perdebatan dalam hati antara perasaan dia tidak dan belum tentu bermaksud jahat, dengan awas, tetap waspada jangan lengah! Ya, dia sih dia terlihat biasa dan baik, apa yang perlu dirisaukan? Tapi tetap sekali lagi saya menengok dan mengamati tiga orang yang tak jauh dari kami di dekat tempat sampah itu, mereka masih nongkrong di sana.

"Saya sudah nikah mas, sudah ada anak satu, Mas sudah kawin?"

"Belum." Ujarku pendek sambil tersenyum, "belum mau nambah anak mas?" Pertanyaan lanjutan yang ringan dan mudah untuk melancarkan pembicaraan, saya mencoba lebih ramah.

"Udah mas, kemarinnya, tapi istri saya keguguran, habis dua juta setengah."

"Oh..." Saya mau sekali melihat mimik saya saat itu, sungguh saya mencoba menampilkan simpati itu di wajah, tapi dia belum terlalu saya kenal, jadi mungkin memang tidak benar-benar dari hati. Tapi saya pikir sudah seharusnya saya terdiam dan mengangguk sedikit sambil memberikan tatapan simpatik.

Dia masih duduk di samping dan tidak risih dengan bawaannya maupun hidupnya. Obrolan malah mengalir ke kenalannya yang kini sukses punya dua ruko. Dipercaya oleh orang luar katanya, awalnya sama seperti dirinya, ‘mengasong' ujarnya lancar, tapi lalu dapat kesempatan. Kenalannya itu jadi kaya sekarang, dan dia cerita harga tanah daerah situ, sudah hampir satu milyar. Saya berdecak dan malah jadi berpikir ke arah peluang bisnis dan merasa melihat celah yang selama ini tidak pernah terungkap seperti disibakkan sedikit hingga punya kesempatan mengintip.

Saya bercerita sedikit tentang tempat saya kerja, lalu kampung halaman saya, dan tiba-tiba menyambung ke cerita tentang birokrasi pembuatan KTP. Ya ampun, dia bercerita KTP-nya baru selesai setelah 4 bulan, itu juga di'kejar' setiap hari. Pembayaran sudah selesai, tapi, ya ampun... Dan saya dengan semangat menimpali kekecewaannya dengan persetujuan, ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam administrasi kenegaraan bahkan di tingkat terendah.

Lalu dia cerita tentang Andry Wongso. Saya sudah tidak terlalu mengkhawatirkan dompet dan pakaian saya yang mungkin agak mencolok itu. Dia termotivasi katanya. Sama orang yang tidak sekolah, tapi bisa sukses. Saya tertawa ringan, tertegur sekaligus lega. Saya tahu dan pernah mendengar langsung Pak Andry dalam kesempatan seminar yang diadakan kantor, tapi saya belum sempat cerita mengenai hal itu. Bis 27 itu datang, tapi bahkan waktu bis itu sudah melewati halte kami sedikit untuk berhenti sebelum lampu merah, saya masih duduk dan mendengar dia cerita tentang kekagumannya. Sore yang tak biasa, di dalam bis setelah saya mengucapkan salam dan maaf karena harus permisi duluan, saya betul ingat kisah tembok dan jembatan itu.

Dia membuat jembatan dengan kejujuran dan ketulusan, dan saya membangun tembok dengan kecurigaan. Kehati-hatian memang pernah membuat saya lolos dari tindak kriminal di lokasi tidak jauh dari situ kira-kira dua tahun silam, tapi tembok juga menghalangi sudut pandang dan uluran relasi yang seharusnya bisa terjalin indah.

Andai saya memaksakan tembok itu berdiri terus dan dari menara pengawas saya terus menilai dan menghakimi, tentunya saya kesepian sore itu. Bis yang lama, waktu yang harus dibunuh, pikiran yang jadi melayang tak menentu, perasaan yang gusar. Tapi semuanya ditukar karena ada jembatan yang dibangun dan tanpa paksaan menanti untuk disambung. Hasilnya paling tidak tawa kecil dan pertukaran informasi antar dua manusia yang sama-sama asing, tapi mencoba terhubung di planet yang penghuninya kian kesepian ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun