[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: Kari Kambing/Sumber: Foto Basa Aceh Basa Geutanyoe "][/caption]
MENIKMATI puasa di kampung halaman, adalah sebuah pengalaman yang berharga. Seperti yang kita tahu, beranekaragam adat dan juga tradisi yang terjadi dikampung sarat dengan makna religius. Terlebih jika suasana puasa dipelosok-pelosok kampung seperti yang ada di Aceh. Ada yang menarik untuk kita lihat, selain ada tradisi
Meugang (pasar daging) sebelum menyambut bulan puasa atau lebaran juga ada sebuah tradisi yang kerap selalu ada di bulan puasa, yakni
Khanduri atau sering orang menyebutnya
Kenduri maupun
Khauri.
Khanduri mirip dengan sebuah hajatan untuk berbuka atau makan bersama, baik yang dilakukan disetiap rumah atau juga pada
meunasah-meunasah yang ada pada setiap kampung. Menyambut bulan puasa, memang atas nama tempat ibadah, baik itu langgar,
meunasah, bahkan sampai mesjid selalu telah siap dengan 'kecantikannya'. Apalagi kalau bukan warna-warni dengan cat baru yang kian menarik dilihat, tentunya juga menarik untuk dikunjungi jamaah saat malamnya. Kembali pada hal
khanduri tadi, tradisi ini memang tidak begitu jelas sejak kapan sudah mulai dilaksanakan oleh masyarakat Aceh. Namun, terlihat jelas bahwa ini merupakan tradisi yang ada sejak lama, dan masih bertahan sampai sekarang ini.
Khanduri Meunasah Dalam sebuah kampung biasanya melalui
Geuchik Gampong (kepala desa) beserta perangkat desa lainnya termasuk Tengku Imum (Imam Meunasah) menyambut bulan puasa akan berembuk untuk menetapkan jadwal atau giliran setiap rumah yang berhak untuk membuat penganan berbuka puasa ala kadarnya. Biasa dalam sebulan penuh puasa di bulan Ramadhan, dalam sehari bisa dua atau tiga rumah yang mendapat jatah untuk membuat
khanduri ini, kebiasaan seperti ini menjadi pekerjaan para ibu maupun bapak-bapak yang sering disebut dengan
khanduri meunasah. Setelah penganan untuk berbuka sudah siap sedia, barulah sorenya sekitar pukul 6 atau menjelang berbuka diantar ketempat-tempat seperti
meunasah atau mesjid, disana sudah siap diterima oleh panitia. Adapun isi penganan untuk berbuka ini juga bermacam-macam, mulai dari minuman, nasi dan juga lauk serta menu terakhir yakni untuk cuci mulut, seperti semangka, kue-kue kecil dan lain sebagainya. Ada kebiasaan menarik lainnya selain penganan ini dibuat atau diracik pada masing-masing rumah disetiap keluarga untuk dibawa ke
meunasah atau mesjid, yakni
khanduri yang benar-benar berada langsung di
meunasah atau mesjid. Disini para masyarakat akan berkumpul untuk masak bersama, bergotong royong secara bahu membahu untuk menyediakan berbuka puasa, walaupun terbilang sederhana dengan hanya satu lauk. Karena kebiasaan untuk masak bersama ini biasa jenis lauk itu disediakan oleh orang-orang yang mendermakan binatang ternak, baik itu ayam, kambing atau pun yang paling besar lembu. Memasak secara bersama ini, yang menjadi menu andalan sering adalah kuah kari dicampur dengan buah labu yang dipotong-potong kecil (beberapa daerah ada yang menggunakan buah nangka), tidak ketinggalan sebagai penawarnya juga lengkap dengan air timun. Ini sering ditafsirkan sebagai
peunawa (penawar/penyeimbang), jika seseorang memakan kari kambing dengan tidak langsung bisa membuat darah tinggi, sehingga
peunawa-nya air timun ini dipercaya bisa untuk membuat kadar darah turun lagi. Jika acaranya berbuka di tempat-tempat ibadah seperti
meunasah dan mesjid, panitia juga akan mengundang masyarakat kampung tetangga untuk berbuka bersama dan itu juga berlangsung sebaliknya. Inilah tradisi kecil yang ada dikampung-kampung hampir diberbagai
meunasah di Aceh, kalau di kota-kota biasanya sering dilaksanakan acara
khanduri ini di mesjid. Kenangan seperti ini hanya ada di bulan puasa, semoga kita diperpanjangkan umur untuk bisa bertemu lagi dengan puasa tahun berikutnya.
Selamat berlebaran rekan-rekan kompasianers![]
~Minal aizdin wal faizin, mohon maaf lahir dan bathin!
KEMBALI KE ARTIKEL