Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Museum Aceh Kehilangan Nafsu

18 Agustus 2010   17:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 330 0
[caption id="" align="alignleft" width="384" caption="Komplek Museum Aceh (ki-ka: Ruang Pamer, Rumoh Aceh)/Sumber: museum.acehprov.go.id"][/caption] RUMOH Aceh atau sering dikenal Rumah Tradisional Aceh yang berdiri tegak di komplek Museum Aceh, tepatnya berada disamping Meuligo Gubernur Aceh beserta makam Sultan Iskandar Muda, kini telah menjadi saksi bisu atas apa yang dialaminya saat ini. Entah kemana gaung peradaban yang dulu pernah ada, bukti sejarah yang dulu pernah terukir kuat, seakan kini tidak terurus lagi seperti apa yang pernah dicitakan oleh pendahulu (endatu). Museum merujuk pada sebuah makna akan nilai budaya, sejarah serta salah satu bagian dari representasi budaya anak bangsa. Mungkin ini seuntai kata untuk melihat apa yang terjadi dengan Museum Aceh pada hari ini. Tahun 2009, sudah ditaksirkan bahwa nasib Museum Aceh akan bangkrut, hal ini terkait dengan anggaran yang semakin diperkerucutkan. Lagi-lagi masalah uang dan segala pendanaan untuk anggaran kecap menjadi akar masalah utama dari sebuah lembaga penyelemat benda-benda sejarah tersebut. (samanui.wordpress.com) [caption id="" align="alignleft" width="300" caption="FW Stammeshaus, pria kelahiran Sigli pada tanggal 1 Juni 1881 merupakan kurator pertama Museum Aceh dan Kepala Museum Aceh sejak 31 Juli 1915 sampai dengan 1931/Sumber: museum.acehprov.go.id"][/caption] Hidup Segan, Mati Tak Mau Itulah kata yang cocok untuk Museum Aceh dikala dana APBN sedang hangat untuk diperbincangkan kembali untuk tahun 2011 nanti. Pemerintah Aceh boleh saja "bersorak" untuk mengungkit masa lampau Aceh yang penuh kisah, membangkitkan semangat generasi muda/i untuk tidak luput dari gemilangnya kejayaan dan masa lalu, namun saat museum ini berada dibawah pengelolaan Pemerintah Aceh, apa yang terjadi saat ini menjadi surut dan kian menyusut dari perhatian masyarakat. Salah satu media lokal, pernah mengangkat kisah Museum Aceh ini sebagai berita utama tentang pandangan seorang turis asing, Anjie Stoakes yang mengunjungi museum tersebut saat menyaksikan keadaan yang sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Museum Aceh ini. "Anjie yang menyebut dirinya guru bahasa Inggris, datang ke galeri museum untuk observasi. Ia ingin menulis sejarah Aceh. Ia berharap dengan mengunjungi museum akan mendapat inspirasi dan masukan yang banyak. Tapi, begitulah. Sambil menatap dokumentasi foto di dinding galeri, siang itu Anjie hanya tersenyum dan mengangkat bahu, menyiratkan sejuta makna." seperti yang dilansir oleh serambinews.com, Rabu (18/8). Kalau ditanya sekarang untuk warga Aceh, mungkin Museum Tsunami yang lebih dihafalnya dari pada Museum Negeri Aceh ini. Bahkan, keprihatinan untuk museum ini bukan terlihat dari dalamnya saja, melainkan juga dari sisi fisik yang sangat menjerit hati. Rusdi misalnya, lelaki yang berseram PNS tersebut menuturkan, “Yang lebih fatal, atap di ruang galeri sudah pada bocor. Kalau hujan air tergenang di sini." Betapa mirisnya, jika kita lihat keadaan seperti ini yang luput dari perhatian Pemerintah Aceh. Disaat tampuk kekuasaan untuk museum tersebut dipegang di bawah kendali Pemerintahan Aceh, yang sebelumnya berada di bawah Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (baca: sejarah Museum Aceh). Tidak hanya atap yang bocor, gedung galeri baru yang dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias pascatsunami juga tidak kunjung dioperasikan oleh pimpinan museum. Tentu sebuah kemubaziran yang semakin tak terjawab, bisa jadi lagi-lagi terbelit biaya operasional, duit dan duit. Boleh saja berbangga hati untuk Museum Aceh, kalau nafsu tidak berucap dan mati rasa. Apa daya nantinya generasi muda untuk tahu tentang museum dalam lingkungan keraton Aceh dulunya itu, semoga tidak hanya jadi kenangan saja.[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun