Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

<em>Meugang</em>: Antara Tradisi dan Perang Harga

8 Agustus 2010   19:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 308 0
[caption id="attachment_220001" align="alignleft" width="360" caption="Suasana hari meugang antara penjual dan pembeli/Foto: hinamagazine.com"][/caption] UROE meugang atau juga sering dikenal makmeugang, merupakan sapaan akrab orang Aceh dalam menyambut hari-hari besar Islam, baik saat menyambut bulan puasa atau Ramadhan, Idul Fitri dan juga Idul Adha. Perihal meugang ini tidak diketahui sejak kapan mulai mewabah di negeri Iskandar Muda ini, belum ada sejarah yang mengungkapkan awal mulanya tradisi meugang mulai melekat dengan orang Aceh. Meugang memang sangat identik dengan daging, biasanya sering dijumpai daging-daging yang meraimaikan meugang kebanyakannya seperti sapi, kerbau dan juga kambing/domba. Dibeberapa wilayah di Aceh, sebenarnya tidak serta merta meugang hanya diwarnai oleh daging-daging. Ada juga beberapa tempat penjualan atau pasar dadakan untuk menjual daging tersebut dipenuhi dengan pedagang ikan. Meugang rata-rata ada dua hari sebelum hari-hari besar tersebut, ada meugang ubit (meugang kecil) pada hari pertama dan meugang rayeuk (meugang besar) pada hari kedua. Namun, tidak semua wilayah atau juga kabupaten di Aceh menerapkan hari meugangnya selama dua hari, ada juga hanya sehari saja. Yang membedakan meugang kecil dan meugang besar, hanya jumlah daging yang dipasarkan atau dengan kata lain banyaknya penjual yang turun ke pasar. Jika pada hari kedua, yakni meugang besar sudah bisa dipastikan tempat yang dijadikan pasar dadakan akan sangat ramai sekali. Perputaran ekonomi masyarakat di hari meugang memang sangat luar biasa, banting harga, kualitas daging serta jenis daging juga mempengaruhi para pembeli yang notabennya juga warga setempat. Hari meugang ini biasanya mulai beroperasi dari pagi hari--setelah shalat shubuh--sampai siang hari sebelum waktu shalat zuhur. Walaupun, ditemukan masih ada yang berjualan sekitar siang kita bisa menghitung pakai jari jumlahnya, karena pengaruh waktu juga akan mempengaruhi harga. Perang Harga Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging bisa melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo. Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan bisa mencapai seratus lebih, sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma membutuhkan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa. Memang meugang telah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya, kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membagi-bagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya. Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahwa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo bisa dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual. Inilah sekilas uroe meugang yang konon sudah menjadi kehidupan sehari-seharin masyarakat Tanah Rencong sebelum menghadapi bulan puasa atau sesudahnya. Di tengah mempertahankan tradisi, kadang harga atau persaingan ekonomi untuk sementara waktu juga terjadi secara dadakan. Marhaban Ya Ramadhan.[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun