Setelah molor 20 menit, kereta ini berangkat, perlahan tapi pasti meninggalkan ibukota melewatkan stasiun-stasiun di timur jakarta menuju tempat pemberhentian pertamanya di Cirebon. Berhenti untuk menambah kapasitas muatan hingga kursi penuh lalu kereta ini diarahkan untuk mengambil jalur selatan melewati kota-kota di Jawa Tengah, Yogyakarta dan beberapa kota di Jawa Timur sampai tiba di ujung perhentiannya dini hari. Sembari menunggu loket kereta lokal terbuka saya menyempatkan diri untuk menyesap teh manis hangat di tepian jalan di depan stasiun. Satu jam sebelum keberangkatan, loket dibuka dan antrian pun langsung membludak. Penumpang yang kebanyakan penduduk Jawa Timur yang ingin menuju kota-kota yang berada di selatan surabaya, hal ini mengingatkan saya pada KRL di jabodetabek yang sejak pagi sudah mulai dipenuhi oleh para kommuter yang menuju kota untuk mencari nafkah. Perjalanan ini melewati tepian bendungan luapan lumpur yang mengingatkan saya pada derita korban yang sudah bertahun-tahun belum mendapat ganti rugi penuh, malah pihak perusahaan yang juga salah satu pejabat pemerintah pusat dengan liciknya menjadikan APBN sebagai ATM untuk membayar ganti rugi. Satu jam kereta lokal ini mengantar saya ke kota kecil Bangil, Pasuruan. Dari tempat ini saya mulai hitch hike, sabar menunggu 2 jam saya mendapat tumpangan truk yang ingin mengeruk pasir vulkanik gunung Semeru di Lumajang. Pasir Lumajang ini merupakan pasir kualitas terbaik se-Jawa kata supirnya. Pasir ini akan dibawa ke pulau Madura untuk disebar di toko-toko material seluruh pulau ini. sampai di Tongas, Probolinggo saya turun dan dibekali oleh kue-kue tepung yang diberikan oleh warung pinggir jalan tempat supir ini leren (Istirahat, Jawa).
3 Mei 2012, 01.00 WIB saya bersiap untuk melakukan pendakian menuju puncak, dengan mata yang masih mengantuk saya menelusuri jalan setapak menuju arcopodo dan berakhir di cemoro tunggal, pohon cemara terakhir sebelum puncak dan akhirnya saya memasuki medan pasir dan krikil vulkanik muntahan gunung aktif ini. di atas terlihat barisan cahaya menuju puncak yang berasal dari senter para pendaki.
05.00 WIB saya akhirnya sampai di puncak Mahameru, titik tertinggi di pulau jawa. Terpaan angin yang sangat kuat menembus jaket saya yang sudah 2 lapis. Diatas sini saya berziarah ke monumen Soe Hok Gie yang meninggal tahun 1969 yang menjadi idola saya dan para pemuda lainnya.
06.00 WIB matahari mulai menampakkan wujudnya, sinar kuning kemerahan menyambut di ufuk timur. Sementara mata terfokus pada keindahan sunrise, tidak sengaja kawah jenggring seloko bereaksi mengepulkan asap wedus gembelnya. Kejadian yang begitu singkat melewatkan saya untuk mengabadikan melalui foto tapi mata yang puas akan keindahan itu tidak dapat dibohongi. Setelah matahari tinggi beberapa derajat sayapun turun lagipula memang dilarang untuk berada di puncak di atas jam 9 karena dapur kawah mulai bereaksi.
Saya pun kembali ke tenda saya untuk makan dan membereskan untuk pulang ke Jakarta.
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” – Soe Hok Gie