Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Politik Dinasti & Pilkada 2010

27 April 2010   08:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33 1146 0
“The press may not be successful much of the time in telling people what to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about”. (Bernard Cohen, political scientist, 1963; Walter Lippmann, 1920). Setelah melemparkan wacana untuk memperketat calon kepala daerah tidak cacat moral, Kementerian Dalam Negeri melontarkan ide lain. Kali ini Mendagri Gamawan Fauzi berencana memasukkan ke dalam revisi UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa wakil kepala daerah tidak dipilih secara langsung melalui pemilu, melainkan ditunjuk kepala daerah terpilih (Jawa Pos, 26/04/2010).
Pemilu kepala daerah tahun 2010 mencemaskan. Pilkada saat ini menampilkan fenomena politik dinasti dengan bermunculannya calon dari lingkungan keluarga kepala daerah yang berkuasa (Kompas, 19/04/2010). Pemilihan kepala daerah di tahun 2010 ini membuat semua orang dapat berpartisipasi dan memunculkan berbagai figur publik, seperti halnya kemampuan para artis yang diragukan kapabilitasnya sebagai calon pimpinan daerah setempat demi mewujudkan pembangunan ekonomi berkeadilan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun diakui bahwa waktu memang belum sepenuhnya berpihak untuk menguji integritas, kapabilitas, dan kapasitas para bintang baru (new political celebrities) dan artis nasional, namun publik harus selalu menuntut kemampuan bintang baru di perpolitikan nasional untuk mengutamakan kecerdasan dan lebih bijaksana dalam memahami, menyikapi, dan menyelesaikan persoalan masyarakat di daerah, bukan sekedar tebar pesona (politik pencitraan) dan politik uang (money politics).
Buruknya Manajemen Partai Politik
Menurut penulis, ada empat faktor utama kegagalan kaderisasi anggota pada partai politik, yaitu: Pertama, Proses Rekrutmen dan kaderisasi partai politik selama ini terhadap para anggotanya, lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat instan, tiba-tiba (grasak grusuk dan kasak kusuk), peliputan media nasional, dan cenderung oportunis; Kedua, Tiada kejelasan perencanaan program partai politik terhadap bagaimana memetakan situasi dan memprediksi perkembangan ekonomi, politik, sosial budaya masyarakat setempat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara geopolitik maupun geostrategis; Ketiga, Rendahnya tingkat kecerdasan berpolitik para anggota dan elit partai politik untuk mampu memecahkan persoalan masyarakat, kemampuan berargumentasi secara santun dan etis, dan kemampuan menggalang opini publik secara berkelanjutan; Keempat, Lemahnya kemampuan dalam memfasilitasi aspirasi, kepentingan, dan kebutuhan dasar masyarakat setempat (pengadaan sembako murah berkualitas, pendidikan, dan layanan kesehatan gratis)
Oleh karena itu, kemampuan utama para politisi partai politik di parlemen (DPR) yang telah mengenyam “kawah candradimuka” proses kaderisasi partai politik dan organisasi sosial masyarakat (ormas) selama ini harus senantiasa diasah, diberdayakan, dan mau terus menerus dikritisi oleh masyarakat. Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, mengakui bahwa manajemen sumber daya manusia masih menjadi persoalan krusial di dalam partainya,”Demokrat ini minim pengalaman manajemen”. Menurut Maruarar Sirait,”Berpolitik tidak hanya membutuhkan pengetahuan terhadap tugas DPR atau aturan perundang-undangan, tetapi juga diperlukan prinsip, keyakinan, jaringan, serta keahlian lainnya seperti lobi politik dan bagaimana menggalang opini publik melalui media massa”. (Kompas, 30/03/2010).
Dewasa ini memang manusia Indonesia lebih menyukai dibilang pintar berpolitik daripada dinilai benar mengambil keputusan politik. Kepintaran berpolitik adalah milik beberapa orang, sedangkan kebenaran dalam melaksanakan keputusan politik jelas milik semua orang, karena pintar berpolitik berdimensi pikir, sedangkan benar mengambil keputusan politik berdimensi nurani dan moral. Berbagai penghargaan diberikan kepada orang-orang pintar berpolitik, sementara orang-orang benar salah dilahirkan di dunia orang pintar di abad millenium ini. Sesungguhnya, pintar itu kultur atau budayanya, merupakan kerja mental. Sedangkan benar dalam mengambil keputusan politik adalah alamiah, terbawa sejak manusia dilahirkan. Dunia modern adalah dunia miliknya orang pintar. Siapa yang pintar selalu benar, walaupun kebenaran itu sendiri relatif maknanya. Kebenaran orang pintar adalah kontruksi pikiran semata. Semuanya akan benar, apabila bangunan pikirannya terpolakan, koheren dan menyatu, sesuai hukum logika (logic of thinking). Kebenaran orang pintar dalam politik adalah kebenaran eksklusif dan isolatif, karena hanya benar dalam lingkungan dan bangunan politik itu sendiri. Orang pintar berpolitik hanya benar di lingkungan politik yang bangunan pikiran politiknya sama atau mirip.
Dalam ranah berpolitik modern, untuk menjadi seorang politisi handal yang cerdas, santun, dan memiliki etika politik, harus mengutamakan kompetensi atau keahlian berpolitik, pengalaman berorganisasi dalam masyarakat, integritas, jaringan politik (political network), dan kesetiaan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kaderisasi Pilkada 2010
Pilkada 2010 ini adalah pemilihan kepala daerah langsung kedua setelah pilkada langsung oleh rakyat dilaksanakan tahun 2005 lalu. Saat itu telah dilaksanakan 226 pilkada, yaitu 11 pilkada provinsi, 179 kabupaten, dan 36 kota. Di tahun 2010 ini akan dilaksanakan 244 pilkada, yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Sumatera Barat (Sumbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), Sulawesi Utara (Sulut), Kepulauan Riau (Kepri), dan Jambi. Sisanya sebanyak 202 pilkada kabupaten dan 35 kota pada 32 provinsi. (Kompas, 19/04/2010)
Munculnya sejumlah calon kepala daerah yang kontroversial dan diusung partai politik, pada saat pilkada, akhirnya membuat para pemilih semakin bingung, apatis, dan sengaja hanya digiring untuk memilih calon kepala daerah tertentu, yang nyata sangat diragukan kapabilitasnya dalam memimpin daerah tersebut (Kediri, Ngawi, Bantul, Indramayu, Kepulauan Riau, Bone Bolango, Labuhanbatu, Pacitan, Blitar, Ngawi). Kegagalan partai politik dalam sistem pengelolaan sumber daya manusia para kader politiknya di dareah, seperti halnya partai-partai baru, PKS, Partai Demokrat, PPP, PAN, PKB, PDI-P, Gerindra, Hanura, dan Partai Golkar, pada akhirnya turut menjadi embrio politik lahirnya “rezim keluarga” Pilkada 2010. Perekrutan anggota partai politik, promosi jabatan politik, dan pengambilan keputusan partai politik, tidak hanya mengutamakan keahlian politik, namun perlu dipertimbangkan tingkat pemahaman ideologi, kebijakan politik partai, sifat partai politik, dan sikap masyarakat terhadap eksistensi partai politik.
Kesuksesan kaderisasi rezim keluarga pada Pilkada 2010 ini perlu dicermati oleh pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa nasional dan lokal, mengapa selama ini partai politik di daerah gagal dan mandul melahirkan kader politik lokal. Apakah memang terdapat keterkaitan antara keterbatasan waktu dengan kesibukan administrasi partai politik dalam penyusunan kandidat 244 kepala daerah? Ataukah memang elit partai politik nasional dan daerah sengaja telah mengkultuskan budaya jalan pintas, instan, dan tanpa perencanaan sama sekali,”sekedar kejar setoran”. Bagaimana mungkin partai politik mengusung calon kepala daerah hanya berdasarkan pertimbangan tingkat popularitas atau kemampuan finansial saja, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas.
Diakui selama dua belas tahun pasca reformasi 1998, keberadaan dan kualitas partai politik nasional dan para elit politik belum mampu merencanakan dan menyusun para kader politiknya, sebagai calon pemimpin nasional (national leaderships) untuk memajukan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah, atau mereka hanya sekedar melahirkan raja-raja kecil dan dinasti elit politik di daerah. Apa yang dinilai benar secara politik oleh elit partai politik selalu mendatangkan perdebatan sengit karena kebenaran selalu dilihat dari sudut kepintaran. Benar dan tidak benar dinilai dari alam kesadaran yang ada, yaitu pikiran. Sedangkan kebenaran absolut atau benar adalah berhubungan dengan kehadiran, penghayatan, pengalaman, realitas obyektif. Manusia sejak bayi telah belajar mengenal apa yang benar dan tidak benar, apa yang baik dan tidak baik.
Program kaderisasi anggota partai politik harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan, karena kalah atau menang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya setitik persoalan dalam berpolitik. Permasalahan utama adalah bagaimana mengelola kekuasaan (management of power) bagi pihak yang menang untuk kesejahteraan rakyat, dan bagaimana mengakomodasikan kepentingan pihak yang kalah (management of political interests), sehingga tidak memunculkan konflik politik horizontal (horizontal political conflict) dalam masyarakat.
Tangisan pujangga Jawa, Ronggowarsito, masih berlangsung hingga saat ini. Ia mengatakan, dalam zaman edan, negara memiliki menteri-menterinya yang pintar, namun mereka tidak mampu menghindar dari para pejabat negara yang sudah gila kekayaan, tidak ingat dan waspada terhadap kebenaran. Berbahagialah, di zaman semrawut ini, masih ada manusia yang peka, selalu ingat, dan waspada, “sing eling karo Gusti Allah SWT”.

By. Hendra Manurung

* Hendra Manurung, Dosen Ilmu Komunikasi Politik, FIKOM, Universitas Presiden, Kota Jababeka, Cikarang Bekasi 17550, Indonesia

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun