Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Spiritualitas 'Jawa' (Kebatinan) dan Spiritualitas Islam

10 November 2012   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 104 0

Term (terminologi) “kebatinan” , yang dianut oleh sebagian masyarakat jawa, bagi sebagian kalangan dianggap akulturasi spiritualitas Islam dengan kebudayaan dan tradisi Jawa. Tetapi jika ditelisik lebih dalam, maka akan kita dapatkan perbedaan mendasar antara keduanya. Definisi kebatinan sebagaimana yang disepakati dalam keputusan kongres BKKI ke-I di Semarang tahun 1955, adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawono. Artinya kebatinan adalah tidak punya maksud yang menguntungkan, giat bekerja untuk kepentingan umum, berupaya untuk mensejahterakan dunia. Definisi ini memberikan pesan agar manusia dalam kehidupannya lebih mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Kemudian pada tahun 1956, berdasarkan keputusan kongres BKKI ke-2, definisi kebatinan adalah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup. Sentralitas manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu terlihat jelas pada kedua definisi di atas. Definisi pertama menegaskan bahwa tujuan akhir segala usaha manusia di dunia hendaknya berhenti pada pencapaian “keridhoan” manusia di muka bumi dengan menitik beratkan usaha bersama. Sedang definisi kedua, kebatinan menjadi sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas logika ini terbalik,seharusnya Ketuhanan Yang Maha Esa lah yang menjadi sumber primer, sedangkan “kebatinan” yang merupakan hasil rumusan manusia, tidak lebih sebagai manifestasi dari nilai-nilai Ketuhanan yang universal. Maka tidak heran, ada kemungkinan aliran-aliran kebatinan yang berkembang di Indonesia mengingkari dan memungkiri adanya Tuhan Yang Maha Esa atau Ateisme.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun