"Waktu itu saya masih dicari-cari orang. Saya sembunyi di atap rumah. Istri saya mau melahirkan. Saya sembunyi, menunggu anak saya lahir. Begitu lahir dan saya tahu perempuan, saya lempar kertas ke bawah, lalu saya lari. Anak itu saya beri nama Lita," tutur Bathi Moelyono, salah seorang korban yang selamat dari penembakan misterius tahun 1983.
Ketegangan dan ketakutan campur aduk mewarnai kelahiran anak keenam Bathi. Bukan hanya mencemaskan keselamatan anak dan istri, tapi juga khawatir pada keselamatan sendiri. Saat itu para "algojo" misterius berkeliaran di sekitar rumah mencari dirinya.
Kehadiran Lita Handayani ke dunia tidak disambut suasana gembira. Para tetangga bahkan tidak berani mendekat untuk sekadar mengucap selamat. Mereka tahu, berdekatan dengan keluarga Bathi Moelyono dapat berujung petaka.
Tahun 1983 itu hingga sepuluh tahun berikutnya merupakan masa terberat bagi Bathi dan keluarganya. Setelah melemparkan kertas bertuliskan nama anaknya, Bathi melarikan diri. Lereng Gunung Lawu di Magetan, Jawa Timur, dipilih sebagai tempat persembunyian pertama. Setelah itu beberapa tempat lain yang dirasa aman menjadi tujuan pelariannya.
Selama buron Bathi mengalami beberapa peristiwa tragis yang kadang konyol. "Waktu itu saya di Sumowono (Semarang selatan). Lewat mobil bak terbuka dan saya menumpang. Di mobil itu ada beberapa orang berbaju hitam, juga karung-karung goni. Begitu saya naik dan duduk di atas karung goni, terdengar suara mengaduh. Orang di sebelah saya bilang 'Pak, tahu ndak, yang Bapak duduki itu isinya orang'. Saya langsung merinding," ujarnya.
Melihat gelagat tidak beres dan khawatir orang-orang itu mengenali dirinya, Bathi meminta turun dari mobil. Tidak lama
berselang, di hutan jati tak jauh dari tempatnya turun, terdengar suara rentetan tembakan. "Bayangkan bagimana perasaan saya. Jadi, saya satu mobil dengan orang yang mau membunuh saya," kenangnya.
Bathi Moelyono lahir di Semarang tahun 1947. Jagoan kampung ini pernah masuk penjara pada tahun 1970 karena membunuh dan merampok. Keluar dari penjara, Bathi dipercaya "menggarap" preman-preman di Semarang dan menggalang massa untuk mencoblos Golkar. Dia kemudian memimpin Yayasan Fajar Menyingsing yang beranggotakan bekas narapidana se-Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dari pemimpin Golkar Jawa Tengah saat itu Bathi tahu dirinya menjadi target operasi pembunuhan misterius.
"Saya menjadi pemimpin Fajar Menyingsing adalah bagin dari setting penguasa saat itu, baik jaringan yang berkaitan dengan politik dalam hal ini Golkar ataupun dengan jaringan yang berkaitan dengan TNI. Mereka jaringan kekuasaan. Organisasi ini di antaranya didanai beberapa pengusaha besar saat itu."
Operasi Penembak Misterius yang dikenal sebagai Petrus awalnya digelar di Jakarta tahun 1983, kemudian melebar ke Yogyakarta dan Semarang. Konon operasi rahasia ini dikomandani langsung Sudomo, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban saat itu. Orang-orang yang diduga sebagai preman atau gali ditangkap, dikumpulkan di suatu tempat, kemudian ditembak dalam kondisi mata tertutup dan tangan diikat.
Ketika dihubungi VHR, Bathi mengaku lelah menceritakan kisah masa lalunya. Menurut dia, pengalamannya 10 tahun dalam pelarian menghindari kejaran eksekutor Petrus adalah fakta dan bukan novel.
Bathi kecewa atas kerja Komnas HAM terdahulu yang dinilainya lamban. Dia juga sudah tidak lagi mempercayai institusi-institusi negara lainnya. Saat Komnas HAM dipimpim Abdul Hakim Garuda Nusantara, 4 kali Bathi dimintai kesaksian seputar Penembakan Misterius. Banyak juga data dan dokumen yang telah ia serahkan untuk membantu upaya penyelesaian hukum kasus ini. Namun hanya kekecewaan yang didapat. "Kalau hanya untuk melengkapi kepustakan supaya terlihat bekerja, mending nggak usahlah. Mereka (Komnas HAM) makan gaji buta kalau begitu. Jadi, kalau mereka nggak bisa selesaikan masalah ini lebih baik Komnas HAM bubar saja," ujarnya.
Kekecewaan itu ternyata membuahkan album luapan hati yang ditulis sendiri dan dinyanyikan anaknya, Lita Handayani. Album itu berisi kisah dan perasaan Bathi serta sejumlah korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum mendapatkan keadilan. Album lagu itu dicetak 5.000 keping dan sudah habis dibagikan.
Bathi pasrah apa pun tanggapan masyarakat soal album itu. Dia juga tidak lagi banyak berharap pelaku Petrus akan diadili. Dia tidak mau lagi kecewa atas harapan-harapan itu. "Ini naif sekali. Jika Komnas HAM bicara soal penegakan HAM, mengapa mereka makan di atas bangkai manusia korban HAM? Saya muak dengan Komnas HAM," ujarnya.