Perilaku serupa, sekarang ini, mungkin sudah mulai banyak terjadi pada ibu-ibu: ketika di rumah cuma pake daster kucel—yang entah dibeli 3 atau 5 tahun lalu—bau keringat pula. Tapi giliran keluar rumah, dandanannya… wiiiihhhh luar biasa mentereng, wangiiii….. lengkap dengan kaca mata belalangnya, tangan kiri nyangking tas – tangan kanan pegang BB. "Waahh... cakep banget dek.. mau ketemu siapa?"
Seri ya? Bagus, berarti emansipasinya jalan. Hahaha…
Sangking lumrahnya, banyak motivator ulung menggunakan perilaku ini sebagai bahan atau contoh kasus dalam penyampaian motivasi entah di radio, koran, majalah, TV, sampai ke seminar dan workshop-workshop.
“Dandan untuk siapa?” tanya sang motivator seolah menegaskan betapa buruknya perilaku itu.
“Kenapa dandannya bukan untuk istri atau suami yang di rumah saja?” tanya sang motivator kian membakar motivasi audiens.
Di satu sisi benar apa yang dipertanyakan oleh sang motivator, “memangnya dandan untuk siapa?”. Idealnya, di rumah juga tetap perlu dandan yang sepantasnya, kalau bisa yang istimewa juga setiap hari; mungkin bisa menaikan kadar keharmonisan rumah tangga—meskiun hingga saat ini belum ada penelitian khusus mengenai hal itu.
Yang sedikit mengherankan, faktanya, perilaku suami—yang sudah diketahui menyebalkan itu—malah, saat ini, direflika oleh para istri. Kenapa pula para istri melakukannya, padahal mereka tahu itu sangat menyebalkan. Balas dendamkah?
Dalam kasus tertentu, bisa saja motivasi itu valid. Tapi saya yakin sebagian besarnya bukan karena motivasi balas dendam. Perilaku ini juga banyak ditunjukan oleh ibu-ibu muda—yang nota-benanya belum pernah diperlakukan begitu oleh sang suami sebelumnya. Artinya apa?
Random. Acak. Jika ini semacam penyakit (dandan necis hanya pada saat keluar rumah), maka endemik ini bisa menjangkiti siapa saja—terlepas dari gender, usia, latarblakang pendidikan, dan atribut-atribut lainnya. Dan perilaku ini akan tetap terjadi secara acak, meskipun beribu-ribu kali dimotivasi oleh para motivator super dan motivator religi, untuk mengubah perilaku ini. Tidak akan pernah bisa dihilangkan.
Kenapa perilaku itu seolah sulit (mustahil) dihilangkan?
Jika saya (seorang suami) ditanya demikian, maka jawaban saya jelas: "INI SOAL NYAMAN-dan-TAK NYAMAN."
Mungkin karena saya bukan type perlente yang terbiasa dandan mentereng. Bagi saya pribadi, dandanan necis itu sesungguhnya siksaan fisik (tidak nyaman di badan) dan siksaan psikis. Keluar rumah dengan dandanan seperti itu adalah keterpaksaan—‘not the way I am.’
Saya terpaksa menyiksa diri, dengan berdandan necis, untuk memenuhi tuntutan norma etika sosial yang berlaku umum. Norma etika yang belakangan ini saya rasakan kian dipenuhi oleh kepalsuan, pencitraan luar—untuk deal bisnis, hubungan sosial yang akhirnya juga berujung pada ‘personal branding’ dan ‘business networking’—SEMATA.
Itu sebabnya, mengapa saya tak pernah merasa perlu untuk komplain ketika istri saya berdandan necis saat keluar rumah. Saya tahu, betapa tersiksanya dia pada saat harus tampil dengan pakaian ribet, bersepatu hak tinggi yang pasti juga menyiksa betisnya, dan berbulu mata pasangan yang pasti juga menyiksa matanya.
Saya tidak pernah merasa disepelekan ketika istri di rumah menggunakan pakaian seadanya, entah daster, atau celana pendek, pokoknya yang nyaman untuk dirinya. Justru saya merasa istimewa (dan beruntung) ketika istri menunjukan dirinya sendiri—the way she is—tanpa permak dan embel-embel pencitraan luar. Saya merasa istimewa karena hanya sayalah laki-laki (selain kedua anak saya) yang berkesempatan melihat dia menjadi seperti dirinya sendiri.
So, apakah istri keluar rumah dengan dandanan necis—sementara di dalam rumah dandan seadannya—adalah bentuk balas dendam istri? Menurut saya tidak. Menurut anda?
~Gusti Bob
(Selamat berakhir pekan, dari pulau Bali)