Di wacana bahasa kita, istilah ‘whistle-blower’ termasuk ‘pendatang baru’ yang kira-kira mulai tenar semenjak Nazaruddin bernyanyi tentang praktik koruptif yang dilakukan oleh kolega-kolega yang ada dalam lingkaran partainya. Istilah ‘whistle-blower’ ini oleh pers lantas disadur menjadi ‘peniup peluit’. Bagi khalayak ramai, istilah ‘peniup peluit’ boleh jadi tidak terlalu kuat memberi asosiasi tentang siapa sebenarnya pelakunya. Peniup peluit di sini, tentunya bukan polisi lalulintas yang menyempritkan peluit, bukan tukang parkir yang menyemprit mengatur keluar masuk kendaraan, pun bukan wasit sepakbola yang menyemprit bilamana ada pelanggaran oleh pemain.