Semua dari kita mengenal nama Hang Tuah dari buku pelajaran sejarah nasional. Bersama-sama dengan Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu dan Hang Kasturi, dia dikenal sebagai lima serangkai ksatria perkasa dan tangguh pada abad ke 15. Nama Hang Tuah diabadikan sebagai nama jalan di kota besar di Indonesia, seperti di Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, Bali dan Jakarta. Namanya juga dihormatkan di salah satu perguruan tinggi di Surabaya (Universitas Hang Tuah) dan kapal penjelajah (frigate) TNI Angkatan Laut, KRI Hang Tuah.
Kalau nama Hang Tuah banyak ditulis dalam buku pelajaran sejarah Indonesia, ini sebetulnya terasa janggal. Hang Tuah dan kawan-kawannya dalam catatan sejarah selama ini tak pernah berkiprah di kerajaan atau kesultanan di Indonesia. Dia menjadi laksamana pada masa pemerintahan Sultan Malaka bernama Mansur Syah. Hang Tuah dikenal sebagai tangan kanan Sultan yang amat loyal dan setia dan terkenal dengan sumpahnya ‘Takkan Melayu Hilang di Dunia’. Oleh karenanya Hang Tuah mendapat tempat sangat terhormat sebagai pahlawan bangsa Melayu. Secara berkelakar saya berpikir kalau selama ini kita mencak-mencak karena Malaysia mengklaim batik, angklung, atau reog sebagai warisan budayanya, boleh jadi suatu saat kelak kita akan dibalas digugat karena ‘mengklaim’ Hang Tuah sebagai ‘pahlawan’ Indonesia.
Terlepas dari hal itu, ada wacana yang sangat menarik untuk diikuti bagi saya yang sangat awam dengan sejarah tentang sosok Hang Tuah dalam tahun-tahun terakhir ini. Banyak pengungkapan baru (baik yang ilmiah maupun hipotetis) yang mengejutkan berkaitan dengan Hang Tuah. Salah satunya adalah hasil kajian pakar arkeologi, pakar sejarah dari Amerika, Inggris, Jerman, Rusia dan Kanada yang mengatakan bahwa Hang Tuah secara etnis bukan berasal dari bangsa Melayu, melainkan dari China. Hang Tuah dan kawan-kawannya dikirim oleh Kaisar China sebagai bentuk kerjasama persahabatan dengan kesultanan Malaka dalam rangka menghambat agresi dari Kesultanan Siam (sekarang Thailand).
Argumentasi untuk menguatkan ‘klaim’ bahwa Hang Tuah dan teman-temannya adalah dari ras China, antara lain menyebutkan bahwa mereka berlima pernah menjalani masa untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat Melayu. Argumentasi lainnya adalah soal penamaan ‘Hang’ yang dalam budaya Melayu tidak lazim dipakai. Nama ‘Hang’ yang diletakkan di depan (sebagai surname) sepadan dengan cara penamaan dalam budaya China sebagai nama marga yang dalam hal ini dilafalkan dengan ‘Han’. Hipotesa yang dikembangkan Hang Tuah ditengarai sebagai pemelayuan dari nama Han Too Ah, Hang Jebat dari Han Tze Fat, Hang Lekir dari Han Lee Kie dan sebagainya.
Hipotesa ini memang diperkuat dengan fakta sejarah bahwa Sultan Mahmud Syah menikahi putri kaisar Tiongkok bernama Han Li Po pada masa itu. Penganugerahan putri kaisar Han Li Po ini memang merupakan strategi kekaisaran China di masa itu untuk mengekalkan silaturahim antara dua kerajaan. Bersamaan dengan kedatangan putri Han Li Po, Hang Tuah dan kawan-kawannya ikut bergabung sebagai ‘penasehat militer’ di kesultanan Malaka. Kisah kehidupan Hang Tuah memang sarat dengan legenda sehingga melahirkan banyak hikayat. Dalam cerita sejarah pun kita pernah membaca bahwa Hang Tuah pernah difitnah telah berbuat serong dengan salah seorang selir Sultan. Dia dijatuhi hukuman mati namun nyawanya diselamatkan oleh Bendahara (semacam perdana menteri) dengan menyembunyikannya di tempat terpencil. Konon Hang Jebat setelah mendengar bahwa sahabat kentalnya dari kecil dihukum mati, menjadi sangat murka dan membunuh siapa saja dalam lingkaran kesultanan itu. Sultan pun ikut kewalahan dan terpaksa menyingkir menghadapi Hang Jebat yang memberontak membabi-buta.
Hikayat ini selanjutnya menuturkan dalam kekalutan ini, Bendahara akhirnya mengakui kepada Sultan bahwa sesungguhnya Hang Tuah masih hidup dalam persembunyian dan mengusulkan kepada sultan agar memaafkan dan menerima kembali Hang Tuah guna menaklukkan Hang Jebat. Sultan menerima saran ini dan setelah bertempur selama delapan hari, Hang Tuah dapat menaklukkan Hang Jebat yang angkara murka. Hang Tuah tetap berbakti sampai hari tuanya dan makamnya di Tanjung Kling, Malaka masih bisa dikunjungi sampai kini.
Hipotesa mutakhir yang berkembang (meskipun belum bisa dikonfirmasi keabsahannya) mengatakan bahwa Hang Tuah sebenarnya hanyalah sebuah mitos belaka. Dia disebutkan hanyalah cerita fiksi dan bukan fakta dan bisa disepadankan dengan tokoh Robin Hood dalam legenda bangsa Inggris. Pendapat kontroversial ini memang menimbulkan kegemparan hebat dalam publik Malaysia yang selalu mengagungkan Hang Tuah sebagai pahlawan. Ilmuwan dari Malaysia yang melontarkan hipotesa ini mendapat cercaan dari banyak pihak yang mempertanyakan motif mendiskreditkan Hang Tuah. Salah seorangnya dengan kesal berkata : Even Indonesians acknowledge his existence (Bahkan orang Indonesia mengakui keberadaannya). Saya yang awam sejarah, tak mungkin memberikan judgment dan hanya sampai pada tataran ‘tertarik’ mengikuti perdebatan soal tokoh bernama Hang Tuah.