Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Bahasa Stigma dalam Surat Kabar

10 Oktober 2011   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:08 462 5
[caption id="attachment_140676" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Pernahkah Anda membaca tajuk berita atau isi berita berikut ini : orang gila dipasung, dia menderita cacat mental dari kecil, si buta yang cerdas, pengemis pincang di lampu lalulintas, anak autis, anak bisu tuli, dia tidak normal dan sebagainya. Semua kata-kata ini sering kita dengar atau baca untuk mengacu pada orang-orang yang kita anggap tidak normal baik jasmaniah maupun rohaniah. Tanpa disadari, kita telah memberikan stigma kepada saudara-saudara kita dengan penggunaan istilah-istilah tadi, seakan-akan mereka patut dikasihani, ditakuti atau dijauhi. Kata stigma asal mulanya dipakai untuk mengacu pada noda pada kulit akibat cap besi panas yang biasanya dikenakan pada budak belian, penjahat, pengkhianat di zaman dahulu. Baru pada tahun 1610 kata stigma ini mendapat permaknaan kiasan (figurative) yaitu mark of disgrace atau aib.

Sekarang ini, kata-kata yang merendahkan (disparaging) ini sudah tidak dipakai lagi di suratkabar berbahasa Inggris. Terlebih-lebih setelah adanya wacana people first language yang lebih mengutamakan pribadi orang (people) daripada kekurangan yang disandangnya. Jadi sebagai ganti mengatakan the handicapped/the disabled kita akan mengatakan person/individual with disability, the mentally retarded disebutkan dengan people with mental illness/individual with psychiatric disability, he is deaf disebutkan dengan he has a hearing impairment, the blind disebutkan dengan a man/a woman who has low vision. Semuanya dijadikan pegangan oleh suratkabar untuk menghormati harkat mereka sebagai manusia.

[caption id="attachment_140675" align="alignnone" width="640" caption="(ilust geninv.net)"][/caption]

Tentu ada kalangan di media massa yang kurang setuju dengan pedoman people first language ini, dengan argumen bahwa istilah ini menjadi panjang dituliskan dan terasa kikuk (awkward). Namun demi untuk menjunjung harkat sesama manusia, sebagian besar media massa sudah mengadopsi ‘ketentuan’ ini. Tidak akan lagi kita jumpai istilah crazy, crazed, deranged, nuts, psycho, lunatic, wacko ataupun insane (semuanya bermakna ‘gila’) dan difrasa-ulang menjadi ‘person with a mental illness atau person with emotional disability. Cacat bawaan yang dahulu disebut birth defect difrasa-ulang menjadi congenital disability, orang lumpuh yang dahulu disebut a crippled man menjadi a man who walks with crutches (orang yang memakai tongkat penopang), orang katai yang dahulu disebut a dwarf/ a midget menjadi a man of short stature (orang dengan perawakan pendek).

Bahkan istilah-istilah afflicted with (terjangkit), crippled with (lumpuh karena), suffers from (menderita), victim of (korban karena), atau stricken with (terkena) disarankan untuk tidak digunakan lagi untuk merujuk pada kelainan yang dialami oleh seseorang. Frasa he is bound to/ confined to a wheelchair (dia tergantung pada kursi roda) diubah menjadi he uses a wheelchair. Ada pula kata yang sesungguhnya sudah cukup lumrah dipakai dalam wacana lisan maupun tulisan yaitu the handicapped (penyandang cacat), namun ini pun disarankan untuk tidak dipakai lagi. Sebagai gantinya direkomendasikan untuk menyebutnya dengan people/individual with disability. Malahan sarana/prasarana yang disediakan bagi penyandang cacat seperti bus, kamar kecil, hotel, tempat parkir juga mengalami perubahan penyebutan istilah. Istilah handicapped bus/bathroom menjadi accessible bus/bathroom, handicapped parking (tempat parkir khusus untuk penyandang cacat) menjadi reserved parking for people with disability. Jadi buat Anda yang berada di negara berbahasa Inggris, kiranya bisa memaklumi dan memahami makna dari pengumuman yang bertuliskan accessible bathroom ataupun reserved parking.

Menurut data yang tercatat, di Amerika Serikat terdapat kurang lebih 54 juta orang dengan disability ini yang berarti satu diantara lima warga AS menyandang cacat. Oleh karenanya, bahasa yang mempunyai daya sangat kuat dalam mempengaruhi sikap manusia, dianggap perlu dipersantun. Kata-kata eufemisme (penghalus) seperti physically challenged, inconvenienced, atau differently abled (disingkat difable) yang merujuk kepada ‘tuna daksa’ juga disarankan untuk tidak digunakan. Bagaimana dengan media massa di tanah air kita? Mungkin belum terpikir sampai ke situ, karena boro-boro memikirkan istilah bahasa, prasarana penyandang cacat di tempat-tempat publik saja tidak pernah diperhatikan (di trotoar, di terminal bus, di mal dan sebagainya).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun