Berselancar pada arsip koran tua berbahasa Inggris mengenai tanah air kita di awal tahun 1900 memang mengasyikkan. Kala itu negeri kita disebut dengan Dutch East Indies. Dari penelusuran mengenai suratkabar Amerika Serikat yang memuat tulisan seputar Dutch East Indies ini saya dapat menyimpulkan bahwa pemberitaan mengenai negeri kita mendapat porsi yang cukup besar. Salah satu ulasan hangat yang dimuat pada koran ‘New York Tribune’ 18 Desember 1904 amat menarik perhatian saya, karena di situ dipaparkan bahwa dalam tempo yang tak terlalu lama, Belanda akan melepaskan koloni di wilayah Nusantara ini untuk dijual kepada pihak-pihak yang berminat.
Alasan utama desakan dalam negeri Kerajaan Belanda untuk menjual Indonesia adalah beban keuangan yang luar biasa besarnya untuk membiayai daerah jajahannya ini. Pemberontakan (baca : perlawanan) rakyat Indonesia di banyak wilayah Indonesia tidak pernah surut selama berpuluh tahun, yang mengharuskan pemerintahan Ratu Wilhemina merekrut pasukan (termasuk menyewa Legiun Asing) yang menyedot keuangan negara sangat besar. Sementara hasil bumi yang diharapkan dari jajahannya untuk menunjang perekonomian negara Belanda semakin menipis, seiring dengan penghapusan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan kerja paksa (corvee).
Namun ada faktor penting yang melatarbelakangi badan legislatif Belanda untuk mendesak Ratu Wilhemina menjual Hindia Belanda yaitu situasi geo-politik yang genting pada masa itu. Perang ada dimana-mana dan setiap saat negara-negara kuat siap untuk mencaplok Belanda dan juga negara jajahannya. Di tahun 1904 itu Jerman adalah salah satu negara yang sangat ditakuti, juga Jepang yang pada saat itu terlibat perang dengan Rusia. Dengan melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, mereka berpendapat paling bijak menjual Indonesia mumpung ‘pasaran’nya masih bagus dan belum dicaplok oleh negara lain yang sudah mengintai seperti kawanan ikan hiu di lautan.
Kalau jadi kerajaan Belanda membuka penawaran untuk menjual Indonesia, pihak yang berminat sudah mengantri, di antaranya adalah Jerman dan Jepang, dua negara yang sedang getol-getolnya mencari perluasan wilayah karena pertumbuhan pesat penduduknya. Jepang yang kala itu mengobarkan propaganda ‘Asia untuk rakyat Asia’ (Asia for the Asiatics) membuat Belanda semakin cemas dengan masa depan jajahannya. Apakah pada masa itu sudah ada preseden negara yang menjual negara jajahannya?