Konon bangsa kita pernah dijajah Belanda, konon bahasa Belanda pernah menjadi ‘bahasa kedua’ di negeri kita dan konon tanpa disadari sampai saat sekarang pun kita masih sering menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Belanda. Saya gunakan kata ‘konon’ karena nampaknya kita semua seperti penderita Alzheimer yang sudah lupa tuntas ( bahasa Jawa lali blas) akan kejadian masa lampau. Dan manifestasi ‘kepikunan’ bahasa Belanda dapat disaksikan dalam suratkabar besar “Kompas”. Berulang-ulang saya temukan kesalahan gramatika, kesalahan diksi, dan kesalahan eja. Mungkin segelintir orang saja yang melihat kekeliruan ini, karena seperti yang saya kemukakan di atas, kita semua sudah wes ewes ewes bablas Londone...
Lihatlah pada gambar karikatur GM Soedarta pada halaman Opini Kompas Sabtu 18 Juni 2011 di atas. Menanggapi keheranan Om Pasikom kenapa banyak orang yang melindungi koruptor yang lari ke luarnegeri, Tante Pasikom yang ’kebelanda-belandaan’ berkata sarkastis : Ah schaat..! Jij weit niet zeg... Orang itu soort zoek soort. Ada dua ’dosa tatabahasa’ di sini. Yang pertama kesalahan eja weit dan seharusnya tertulis ’Jij weet niet zeg (maknanya ’kamu tidak tahu hah?). Lalu yang kedua pepatah soort zoek soort yang seharusnya tertulis soort zoekt soort. Pepatah ini sama dengan peribahasa Inggris birds of feathers flock together (maknanya ‘orang yang sejenis akan berkumpul bersama). Nampak seperti sepele saja, kurang satu huruf di sini dan tertukar satu huruf di sana.