Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Memeras Keringat Pekerja Wanita Indonesia

23 Mei 2011   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:19 1520 4
[caption id="attachment_109785" align="aligncenter" width="637" caption="sweatshop (ilust guardian.com)"][/caption]

Anda pernah mendengar istilah sweatshop? Janganlah dibayangkan sebagai tempat fitnessyang nyaman berpendingin udara di mana eksekutif muda ‘mencari keringat’ menjaga kebugaran tubuhnya. Karena sweatshop bermakna pabrik di mana para pekerja membanting tulang, memeras keringat dan airmata dengan upah yang sangat minim, kondisi tempat kerja yang pengap, tanpa jaminan kesehatan dan diharuskan kerja lembur tanpa istirahat untuk mengejar target produksi. Kalau Anda mengira bahwa sweatshop ini berada di luar negeri, maka Anda akan keliru. Sweatshop yang dibicarakan ini ada di negeri kita sendiri dan menjadi topik bahasan di suratkabar The Guardian edisi 28 April 2011.

Ironisnya, sweatshops ini ternyata memproduksi busana dan sepatu bermerk dan bergengsi (high street brands) seperti Marks and Spencer's, Next, Ralph Lauren, DKNY (Donna Karan New York), GAP, Converse, Banana Republic, Land's End, Levi's (untuk busana) dan Adidas, Nike, Slazenger, Speedo and Puma (untuk sepatu). Sepuluh tahun setelah masalah sweatshop ini menjadi perhatian dunia, ternyata praktik pemerasan tenaga kerja yang tidak manusiawi tetap tidak mengalami perubahan perbaikan. Pekerja pabrik yang meliputi 76 persen wanita ini, banyak yang dibayar dibawah upah minimum (legal minimum wage), dikontrak harian (setiap saat dapat diberhentikan dan tidak dibayar pada hari libur dan waktu sakit), dipaksakan untuk bekerja lembur untuk mengejar target. Wanita-wanita berkelas sosial tinggi yang berbelanja busana dan segala produk-produk fashion (tas, sepatu dan sebagainya) yang bermerk ini, mungkin tidak pernah terpikir bahwa kemewahan yang dikenakannya adalah hasil kerja wanita di belahan dunia lain yang underpaid dan exploited.

Dari hasil kajian 18 pabrik besar di Indonesia, dilaporkan bahwa kerja lembur pada pabrik perlengkapan olahraga dan perlengkapan santai (sportswear and leisurewear) sudah merupakan kebiasaan ’normal’, dan rata-rata pekerja menjalani antara 10 sampai 40 jam lembur seminggunya. Bahkan ada laporan kasus di suatu sweatshop, 40 pekerja yang tidak memenuhi target, dikenai hukuman dengan disekap dalam ruangan tanpa ventilasi, tanpa toilet dan tanpa diberi makan dan minum selama tiga jam. Seorang pekerja wanita di suatu pabrik peralatan olahraga di Tangerang bertutur : ”Saya bergaji 1.541.000 rupiah sedangkan pengeluaran saya 1.747.000 rupiah per bulan. Jadi setiap bulan saya harus berutang sekitar 200 ribu, meskipun sudah dihemat dan dimepet-mepetkan (even though I limit what I spend by decreasing the quality and quantity of things which we need as a family).

Problematika sweatshop ini memang merupakan gambaran ketimpangan ekonomi dan sosial negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Dalam kacamata penggiat hak buruh di negara maju, sweatshop harus dihapuskan. Namun untuk pekerja pabrik ini, sekalipun upah tidak memadai, masih tetap disyukuri daripada tidak bekerja. Jadi sikap ‘nrimo’ ini memang banyak dimanfaatkan oleh majikan (employer) pabrik produk-produk internasional itu. Majikan ini juga tidak ‘sungkan’ untuk mempekerjakan tenaga anak-anak yang sebetulnya melanggar ketentuan hukum. Dalam suatu laporan yang sungguh memprihatinkan, di Bangladesh, gara-gara beberapa sweatshop ditutup, maka ribuan anak pekerja di situ akhirnya terdampar menjadi pelacur. Demikian pula, pada saat beberapa sweatshop di Pakistan yang diantaranya memproduksi sepatu Nike, Reebok ditutup, maka sebagian besar pekerja terjerumus dalam prostitusi. Jadi sweatshop ini menjadi semacam ‘buah simalakama’ yang dipakai sebagai senjata oleh korporasi besar sebagai pembenaran untuk mencari tenaga kerja murah di negara-negara berkembang. Inilah wajah sebenarnya dari globalisasi yang tidak memberi pilihan lain kecuali menghamba kepada ‘tuan bos’, karena perut anak-anak yang lapar tidak dapat menunggu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun