Setahun yang lalu barangkali tak seorangpun diantara kita yang tahu, apalagi tertarik dengan non fiksi berjudul ‘Eat Pray Love’ tulisan dari seorang pengarang Amerika Elizabeth Gilbert. Subjudul pada sampul buku yang menggadang larik One woman’s search for everything across Italy, India and Indonesia mungkin tidak juga memicu minat kita untuk mengetahui apa pandangan seorang Elizabeth Gilbert mengenai diri kita. Sekarang tentunya semuanya berbeda. Buku ini sudah bertengger pada peringkat atas bestseller selama 187 minggu dan film yang diadaptasi dari buku ini dengan pemeran Julia Roberts pun sudah bisa ditonton di bioskop.
Fenomena ini sesungguhnya cukup mencengangkan karena selama ini kita sering mempunyai pra-anggapan (setidak-tidaknya tersimpan dalam hati kecil) bahwa tidak ada yang menarik untuk ditulis mengenai diri kita. Hence (kesimpulannya), buku ini tidak mempunyai nilai jual. Elizabeth Gilbert dengan kepiawaian bertuturnya membuktikan hal yang sebaliknya. Kisah pencarian jati diri yang dilakoninya di tiga negara yakni Italia, India dan Indonesia sangat asyik dibaca karena bahasanya yang sangat ’mengalir’. Jumlah bab yang dibuatnya sebanyak 108 bagian terilhami oleh japa malas ( tasbih dalam agama Hindu dan Buddha) yang memiliki 108 manik dan dibagi menjadi 3 dengan masing-masing 36 bab mengisahkan pengalaman batinnya di Italia, India dan Indonesia.
Meskipun setiap kisah persinggahan di tiga negaraitu mempunyai daya pikat tersendiri, untuk saya yang paling berkesan adalah kisah kelana batinnya di Indonesia tepatnya di pulau dewata Bali. Mungkin di film layar lebar anda akan banyak melihat Ketut Liyer yang disebutnya sebagai medicine man. Banyak dialog-dialog diantara keduanya yang membuat kita tersenyum karena persepsi masing-masing yang saling nggak nyambung. Tetapi ada salah satu bab disitu yang memberi kesan khusus bagi saya yaitu penggalan kisah seorang sahabat yang dijumpainya di Bali bernama Yudhi. Yudhi yang berasal dari suku Jawa pada usianya yang amat muda bekerja sebagai anak buah kapal yang berlayar ke kota New York. Sehabis masa kontrak bekerja di kapal, dia memutuskan untuk hidup di New York, sekali pun dengan bekal uang yang amat pas-pasan. Bakat bermain musik gitar membawanya berjumpa dengan pemusik berbakat dari banyak negara, Jamaika, Afrika, Perancis , Jepang. Bahkan dari jamming (kumpul bermain musik) itulah dia berkenalan dengan Ann, gadis berambut pirang yang akhirnya menjadi isterinya.
Semuanya berjalan indah sampai terjadilah peristiwa 11 September yang mengguncangkan perasaan seluruh dunia. Akibat ancaman serangan teroris ini terlahirlah Patriot Act suatu undang-undang yang menerapkan peraturan keimigrasian yang sangat keras (draconian), khususnya ditujukan kepada negara-negara Islam termasuk Indonesia. Salah satu ketentuan dari undang-undang ini mengatakan bahwa seluruh orang Indonesia yang tinggal di AS untuk mendaftarkan diri ke Department of Homeland Security. Yudhi dan isterinya kebingungan. Kalau mereka mendaftar ada ketakutan akan ditangkap dan dideportasi karena visa Yudhi yang sudah overstayed. Kalau tidak melapor jangan-jangan malahan dianggap sebagai pelaku teroris. Penasehat hukum (lawyer) yang ditanyai juga tidak bisa memberikan jawaban karena undang-undang ini sama sekali baru.
Akhirnya Yudhi mengambil keputusan untuk melapor dengan keyakinan bahwa dia sudah menikah dengan Ann yang warganegara AS dan dia akan mengajukan untuk permohonan kewarganegaraan (citizenship). Namun harapan itu sirna setelah dia melaporkan diri, karena dia ditangkap berdasarkan Homeland Security Act dan disekap di detention center (pusat penahanan) di New Jersey selama berminggu-minggu, bahkan tanpa bisa mengontak isterinya yang kebingungan mencari tahu keberadaannya. Akhirnya setelah melalui proses pemeriksaan berminggu-minggu Yudhi dipulangkan ke Indonesia dengan ’stempel’ sebagai tersangka teroris. Dia pun terpisah dari isterinya dan sempat lontang-lantung di Jakarta sebelum akhirnya mengadu nasib ke Bali dan di sinilah setahun setelah dia dipulangkan bersua dengan Elizabeth Gilbert.
Ya, ini hanyalah sepenggal kisah yang cukup menggugah dari seorang anak manusia Indonesia. Tentu jalinan ceritanya tidaklah melulu muram dan mengharu-biru, karena di bab lainnya ada pula canda dan tawa. Sebuah non fiksi yang amat menawan mulai dari halaman pertama sampai ke halaman penutup.