Di masa saya duduk di bangku sekolah dasar ada sejumlah kata dalam pelajaran ilmu bumi yang hingga saat ini masih saya ingat namanya tetapi lucunya saya tidak pernah mengetahui wujudnya. Kata-kata itu antara lain sisal, jute dan damar, tiga nama yang selalu saya hafalkan sebagai hasil hutan di wilayah-wilayah tertentu di nusantara. Jangankan mengetahui kegunaan dari tanaman itu (misalnya produk yang dihasilkan untuk dipakai manusia), melihat fotonya atau gambarnya pun saya tidak pernah. Ini tentunya akibat sistem pembelajaran di masa itu yang memakai dogma ‘hafal mati’. Barangkali pelajaran geografi untuk murid-murid SD generasi sekarang bahkan tidak lagi mencantumkan tiga nama hasil hutan di atas, karena sudah ‘ketinggalan jaman’.
Sisal adalah tanaman perdu dengan daun-daun yang menjulang berbentuk pedang dengan panjang 1.5 sampai 2 meter dan mendapat nama itu karena dipercaya berasal dari wilayah Sisal, Yucatan di Meksiko Tenggara. Dari daunnya yang panjang ini diambil seratnya dengan proses dekortikasi, kemudian dijemur, disisir dan diikat. Serat ini akan dirangkai menjadi tali tambang yang terkenal karena keuletannya, keawetannya, ke-elastis-annya, kemampuan menyerap warna dan tidak hancur karena air asin. Dengan berkembangnya polypropylene (bahan plastik), fungsi serat sisal sebagai twine (tali pengikat) sudah sebagian digantikan oleh tambang plastik. Namun karena sifatnya yang ramah lingkungan ( biodegradable) maka serat sisal masih banyak dipakai dalam industri kertas, karpet, bahkan sebagai penguat pada bahan composite industri otomotif. Negara Brazilia diketahui sebagai penghasil sisal terbesar di dunia dengan menyuplai sebanyak 113 ribu ton serat sisal se tahunnya.