Anda pernah melihat kapur barus? Semuanya akan menjawab jelas pernah. Namun tahukah anda mengapa benda kecil yang multi-guna ini dinamakan ’kapur barus’? Ternyata karena secara historis zat padat yang berwarna keputih-putihan dan beraroma khas ini berasal dari kota Barus, sebuah kota pelabuhan di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Kapur barus yang disebut juga dengan kamfer (atau camphor dalam bahasa Inggris) dahulu kala dibuat dari potongan kayu batang pohon Cinnamomum camphora yang banyak tumbuh di kawasan Barus. Potongan-potongan kecil kayu ini direbus dan melalui proses penyulingan dan penghabluran diperoleh kristal kamfer sebagai bahan baku untuk diproses di pabrik. Sedemikian tersohornya kota Barus sebagai penghasil bahan baku kamfer sejak abad ke 9, hingga semua saudagar dari seluruh penjuru dunia berlayar ke Barus untuk membeli kayu penghasil kamfer ini. Jadi tidak mengherankan kalau akhirnya kamfer ini dalam bahasa Melayu dinamakan ’kapur barus’. Istilah camphor pun sebetulnya juga berasal dari bahasa Sanskerta karpoor atau bahasa Arab kafur yang dalam bahasa kita diserap menjadi ’kapur’. Dewasa ini kapur barus diproduksi tidak lagi memakai bahan baku kayu pohon kamfer, tetapi dibuat secara sintesis dari minyak terpentin. Dalam tulisan di Kompas tanggal 30 Juli 2010 dilukiskan betapa kota Barus yang mengalami zaman keemasan pada abad XI itu, kini meredup dan terpinggirkan keberadaannya, termasuk dalam hal menemukan pohon kamfer yang teramat langka eksistensinya di hutan-hutan wilayah Barus. Sesuatu yang amat ironis mengingat asal kata ’kapur barus’ berasal dari nama kota tua ini.