Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Karikatur ABC (Arswendo, Boediono, dan Ciputra)

12 Maret 2014   20:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 321 8

Inisial ABC ini kebetulan belaka dan bukan by design. Antara ketiganya juga tak ada korelasi ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya). Tiga tokoh ini, Arswendo, Boediono dan Ciputra saya pilih sebagai obyek uji kemampuan menggambar karikatur, karena masing-masing mempunyai profil wajah dengan tingkat kesulitan yang tinggi (setidaknya bagi saya pribadi).

Menggambar karikatur memberi pengalaman yang menyenangkan dan menyebalkan. Berulang kali, hasil goresan tangan ini menghasilkan wajah tokoh yang kelewat muda atau kelewat tua. Kita boleh berasumsi bahwa untuk membuat kesan tua pada wajah yang terlalu muda cukup dengan ditambah kerut-kerut wajah, namun ternyata kiat ini tak sepenuhnya berhasil. Bahkan dengan ditambah kerut-kerut wajah, kemiripan karakter wajah yang tadinya sudah mulai menjelma bisa sirna sama sekali. Kalau ini yang terjadi, berarti back to square one alias kembali lagi dari nol.

Menggambar karikatur Arswendo saya mulai dengan perasaan pesimis. Alasannya karena pada foto-fotonya dia selalu tampil “cengengesan” alias mengumbar gigi-giginya, padahal kelemahan (handicap) saya pada menggambar gigi-geligi. Tapi justru pada ekspresi menyeringai inilah ciri khas wajah Arswendo yang paling kuat. Kalau saya menggambar wajah Arswendo yang lagi “mingkem” (mengatupkan mulut) mungkin gambar yang dihasilkan akan kehilangan rohnya. Ternyata hasil yang saya peroleh setelah merampungkan karikatur ini di luar dugaan saya sendiri. Dari ketiga karikatur yang saya tampilkan di sini, tak pelak Arswendolah favorit saya.

Menggambar Wakil Presiden Boediono seperti saya ramalkan sebelumnya memang sangat sulit, karena wajah Boediono tak memiliki keistimewaan atau dalam istilah karikaturis a plain face (wajah biasa-biasa saja). Saya teringat waktu presiden AS Gerard Ford mengawali jabatannya, para kartunis “pusing tujuh keliling” membuat kartun wajahnya, karena wajahnya yang terlalu plain, sehingga tak ada ciri khas yang bisa ditonjolkan. Ada kira-kira lima kali saya mencoba menggambar karikatur Boediono dan semuanya gagal total. Gambar yang terpampang ini juga belum pas benar, tapi kata orang Palembang “jadilah” untuk menghibur diri saya sendiri.

Menggambar karikatur Ciputra meneguhkan conviction (keyakinan) saya bahwa hidung adalah penentu yang signifikan pada kemiripan sebuah karikatur. Ciputra memang mempunyai hidung yang sangat besar seperti proboscis yang menurut kepercayaan China merupakan hidung hoki. Ingatan saya melayang ke belakang beberapa puluh tahun yang lalu, waktu saya masih mahasiswa, pernah berpacaran dengan seorang keponakan Ciputra. Pacaran ini ternyata putus di tengah jalan. Entahlah apa yang terjadi dengan saya, kalau saya jadi menikah dengannya. What would I have become, if I had married Ciputra’s niece?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun