Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jokowi, Momentum di 2014 Bukan 2019

23 Mei 2013   15:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:08 2138 17
Pertarungan politik baik untuk memilih wakil rakyat di DPR/DPRD maupun presiden Indonesia akan dilaksanakan tahun 2014, namun sebagaimana yang telah dinyatakan para politisi dan pengamat politik, pertarungannya sudah dimulai tahun 2013 ini. Tahun 2013 adalah 'Tahun Politik' dan "korban" sudah mulai berjatuhan. Di tengah keriuhan politik di tahun 2013 ini, juga telah muncul beberapa nama kandidat calon presiden favorit berdasarkan hasil survei beberapa lembaga survei baik yang bonafid maupun kurang bonafid. Terlepas dari bonafiditas lembaga-lembaga survei tersebut, satu nama yang sering muncul sebagai front-runner, siapa lagi kalau bukan Joko Widodo (Jokowi) Gubernur DKI Jakarta saat ini. Beberapa lembaga survei memang memunculkan nama-nama lain sebagai kandidat presiden teratas hasil survei, namun umumnya dengan catatan kaki (note): nama Jokowi tidak diikutkan dalam survei.

Beberapa pengamat maupun pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemilihan presiden di 2014 dan merasa tidak diuntungkan dengan hasil survei yang menempatkan Jokowi sebagai front-runner kandidat presiden, segera menanggapi fenomena tersebut dengan menyatakan Jokowi belum saatnya; Jokowi harus membuktikan berhasil sebagai Gubernur DKI; Jokowi belum berpengalaman dalam mengelola penduduk yang majemuk dan lain-lain yang bermuara pada kesimpulan Jokowi cocok untuk jadi kandidat presiden pada tahun 2019. Saya kurang sependapat dengan pandangan tersebut, sebagai argumen awal saya akan mencoba menilik secara singkat rekam jejak para Presiden kita sebelumnya:

Alm Bung Karno: rekam jejak sebagai pemimpin yagn berhasil tidak diragukan lagi sejak masa perebutan kemerdekaan RI. Beliaulah  Presiden yang membanggakan, karena Indonesia di masa itu sejajar dengan negara-negara super power USA, Inggris, Rusia, China dan sangat disegani. Meskipun demikian masalah dalam negeri kurang mendapatkan perhatian dan sempat timbul pemberontakan.

Alm. Bp. Soeharto: "kudeta" terhadap Soekarno; menggunakan militer untuk represi di jaman ORBA, berhasil menerapkan stabilitas politik dalam jangka panjang. Gelar Bapak Pembangunan bisa dibilang beliau sendiri yang memberikan, karena diberikan dalam masa pemerintahannya.

Bp. Habibie: teknokrat dan ilmuwan, kurang memiliki pengalaman memadai dalam dunia politik, di bawah bayang2 Soeharto; menggantikan Soeharto sebagai presiden karena tuntutan rakyat pada Soeharto untuk mundur. Di jaman pemerintahannya Timor Leste lepas dari Indonesia.

Alm. GusDur: presiden pertama yang dipilih secara demokratis, namun tidak bertahan lama karena beberapa kebijakannya yang kontroversial dan tidak penyenangkan partai-partai "koalisi" serta tidak didukung TNI dan Polri, akhirnya "diturunkan".

Ibu Megawati: track recordnya terutama sebagai keturunan langsung dari mantan Presiden Soekarno, sehingga romantisme historis terkait Soekarno sangat melekat. Simpati masyarakat cukup kuat karena dianggap pernah mengalami represi di jaman ORBA dan akhirnya mendirikan PDI-P. Kemenangan partainya di pemilu legislatif ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik untuk membangun komunikasi dan koalisi dengan partai-partai lain sehingga dalam voting pemilihan presiden di DPR kalah dari Gus Dur. Wakil presiden pada masa GusDur, ditunjuk DPR untuk menggantikan GusDur sebagai Presiden RI.  Dalam pilpres berikutnya juga kalah dari SBY.

Bp. SBY: memenangi Pilpres 2004 tanpa perlu menunjukkan track record / pengalaman keberhasilan atau kinerja historis yang menonjol. Memanfaatkan momentum pencopotan dari posisi Mentamben oleh Presiden Megawati untuk mendapat simpati massa. Terpilih kembali menjadi presiden untuk kedua kalinya meskipun tanpa pencapaian penting, terbantu oleh kerja tim pemenangan yang solid (dan dana yang besar?). Sosoknya yang tinggi besar menjadi salah satu vote-magnet, khususnya para wanita.

Dari rekam jejak ringkas tersebut, kita bisa menilai bahwa pada umumnya mantan presiden dan presiden kita saat ini tidak memiliki latar belakang kesuksesan dalam mengelola organisasi publik sebelum mereka menjadi Presiden. Mereka terpilih bukan karena prestasi gemilang mereka di masa lalu, namun lebih kepada adanya momentum dan atau faktor selain kinerja historis yang mendukung terpilihnya mereka menjadi presiden.

Menilik kondisi tersebut sangatlah berlebihan apabila Jokowi dihalang-halangi untuk maju sebagai kandidat presiden di 2014, dengan dalih harus membuktikan dulu keberhasilannya sebagai Gubernur DKI. Ada dua pertimbangan yang bisa disampaikan. Pertama, Jokowi dengan gayanya dan caranya sendiri telah mendapatkan dukungan dari publik hingga saat ini. Berita tentang kegiatan Jokowi selalu diberitakan setiap hari, tiada hari tanpa berita tentang Jokowi. Ini adalah modal awal yang sangat penting pagi seorang kandidat presiden, dikenal dan diingat masyarakat secara luas. Gaya kepemimpinan duet Gubernur DKI Jaya yang dari awal sudah dikenal sebagai orang baik (Gubernur) dan polisi kejam (wakil Gubernur) menempatkan Jokowi sebagai pemimpin yang mendapat respek dari masyarakat, pemimpin yang mengayomi. Beberapa orang tentu akan berargumen: bukankah ini sekedar  pencitraan? Menurut saya di satu sisi tidak ada yang salah dengan pencitraan dan di sisi lain orang juga sudah mulai bisa membedakan pencitraan palsu dengan pencitraan yang timbul dari tindakan nyata. Tentunya Jokowi juga memiliki beberapa kelemahan, salah satu kelemahan tersebut lebih kepada prinsip untuk tidak gampang memberikan konsesi politik.

Kedua, sejarah presiden-presiden Indonesia sebagian besar tidak ada yang membuktikan bahwa mereka dituntut untuk menunjukkan keberhasilan dalam rekam jejak mereka.  Mengapa Jokowi yang "diminta" untuk menunjukkan dulu bukti keberhasilannya dalam memimpin Jakarta?? Apakah untuk menunjukkan bukti atau komitmen kepada masyarakat yang memilihnya?

Pertanyaan yang saya ajukan adalah: bukankah orang-orang yang memilih (termasuk yang mendukung namun tidak bisa memilih) Jokowi sebagai Gubernur DKI ini sebenarnya adalah orang-orang yang mendambakan pemimpin Indonesia yang memiliki leadership, mengayomi, yang jujur dan dapat mengambil keputusan? Bila demikian bukankah mereka akan dengan senang hati merelakan dan memilih Jokowi apabila Jokowi memang menjadi kandidat presiden??

Jokowi tidak perlu membuktikan terlalu lama hingga 2019 untuk dapat menjadi kandidat presiden RI. Situasi dan kondisi masyarakat saat ini yang makin muak dengan ketidakberpihakan penguasa terhadap rakyat banyak serta respek masyarakat yang makin tinggi terhadap Jokowi sudah cukup menjadi modal awal bagi Jokowi dan menjadi momentum untuk menjadi kandidat presiden di 2014. Bagi partai yang mendukungnya maupun bagi kandidat presiden sendiri tidak perlu menghamburkan dana yang besar  untuk mengiklankan diri. Yang penting dilakukan adalah menanamkan persepsi kuat kepada masyarakat bahwa majunya Jokowi ke pilpres 2014 dan melepaskan jabatan Gubernur adalah untuk Indonesia yang lebih baik, titik

Yang menjadi masalah bagi partai-partai yang ada saat ini adalah, pemimpin mereka masih terikat pada romantisme semu bahwa mereka (masih) layak menjadi kandidat presiden dan memenangkan pertarungan pilpres 2014. Belum ada yang menunjukkan sikap kenegarawanan dengan mengalah dan berintrospeksi pada kemampuannya. Untuk memuluskan cita-cita kelompok mereka, yang dapat dilakukan adalah menghalangi Jokowi agar tidak maju dalam pilpres 2014, karena persaingan akan menjadi timpang dan peluang menghilang.

Pemilu legislatif dan Pilpres 2014 memang masih setahun lagi, namun rencana sudah pasti disusun dari saat ini. Saran saya jangan tutup opsi untuk mencalonkan kandidat presidennya adalah Jokowi , terutama bagi partai-partai yang perolehan suaranya nanti kurang berarti silahkan berkoalisi dan ajukan Jokowi  yang memiliki daya jual tinggi dan mewakili generasi muda sebagai kandidat presiden RI.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun