Pukul 23.50 malam ini (7/6/2014) ada sms masuk ke saya, bunyinya begini: posisi Jokowi kritis, gus. Elektabilitasnya merosot. Panggung-panggung resmi membuat auranya pudar. Maklum Jokowi bukan aktor, bukan performer. Dia pekerja, pekerja keras. Temen, gemi nastiti pakai anggaran negara. Dia tak pandai pidato. Tapi dia pintar menjaga pos-pos pemasukan negara tidak bocor dan pos-pos belanja negara tidak bocor, dan menggunakannya secara tumonjo. Dia orang yang amanah.
Selesai. Ya, selesai dengan koma dulu. Saya merasa tidak perlu terburu-buru untuk membalas sms semacam yang sudah masuk ke saya dan jumlahnya tak hanya satu, dua dan tiga. Persoalan mendasar adalah lhah terus saya disuruh ngapain? Membangunkan seluruh orang yang pro-Jokowi sambil teriak-teriak “Woeeiii....posisi Jokowi terancam, ayo bangun-bangun dan berikan dukungaaaannn....!!” begitu?
Repot banget rasanya jadi teman yang selalu siap menerima curhatan orang. Prabowo biar nggak melulu yang jelek-jeleknya diungkap gimana caranya, Jokowi yang dalam posisi tergencet gimana solusinya. Lho lho lhoo tentu saja itu bukan tugas saya.
Prabowo atau pun Jokowi, hitungan syar’i-nya tentu saja hanya akan bisa menang jika keseluruhan dari masing-masing tim pendukung bergerak kesadaran aktif untuk terus mengawal jagonya dalam mengemban suksesi. Hanya mengandalkan mesin partai sebagai kekuatan penggerak pemilih untuk saat ini adalah sesuatu yang irasional, mereka sudah capek bertempur sebelumnya. Apalagi Pilpres sangat jauh berbeda dengan Pileg. Walau pun secara parsial mesin partai itu ada, tapi fakta di titik mana pun euforia ketokohan capres-cawapres yang ada lebih bisa mendorong publik tertarik untuk terlibat dalam momen Pilpres yang ada saat ini.
Rating Prabowo yang terus naik semenjak Maret 2014 lalu memang cukup fenomenal. Namun hendaknya jangan lupa Pilpres masih baru akan dilaksanakan 9 Juli 2014 nanti. Bagi kita yang masyarakat umum, menghitung waktu sebulan itu rasanya hanya hitungan hari. Namun saya yakin tidak begitu dengan masing-masing kandidat yang ada. Waktu yang sebulan, dengan banyak tekanan muncul bertubi-tubi, akan terasa sangat panjang hingga waktu coblosan tiba.
Itu artinya segala sesuatu masih bisa terjadi. Segala sesuatu masih harus terus diproses menuju titik sempurna, karena bahkan hanya karena nila setitik kesalahan yang tanpa disengaja akan bisa berakibat fatal bagi penilaian publik yang dengan cepat akan melahapnya melalui media.
Menyikapi hal yang demikian. Pelajaran inti dari guru ndeso saya dulu, jika tengah merasa berat akan sesuatu sebaiknya berpuasa. Konon biar hati dan pikiran tetap tenang, dan membiarkan segala persoalan jadi jelas dan terbaca satu-persatu. Bahwa:
TUHAN TIDAK PERNAH MENJANJIKAN BAHWA LANGIT AKAN SELALU BIRU,
TUHAN JUGA TIDAK PERNAH MENJANJIKAN BAHWA BUNGA AKAN SELALU MEKAR
NAMUN PERCAYALAH, TUHAN AKAN SELALU MEMBERSAMAI SIAPAPUN YANG TETAP SABAR DAN TAWAKAL DALAM MERAIH KEMENANGAN!
Jabat erat Indonesia!