Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang saya hormati Menteri Pemuda dan Olahraga, Mas Imam Nahrawi. Saya panggil Mas saja, karena Anda masih muda. Kebetulan nama depan saya juga Imam. Tapi tanpa Nahrawi.
Mas, saya berada di lingkungan sepakbola Indonesia. Saya mengikuti dinamika dan perjalanan sejak Anda dilantik menjadi Menpora hingga hari ini, Senin 5 April 2015, saat surat terbuka ini saya tulis.
Saya selama ini banyak mendengar. Baik melalui media massa, maupun langsung dari para pelaku sepakbola. Kesimpulannya satu: mereka semua merasa Anda justru menjadi beban bagi sepakbola Indonesia.
Jangan apatis dulu. Saya menyampaikan fakta di lapangan yang luas. Bukan dari elite-elite yang pernah mengelola organisasi sepakbola, yang sekarang mungkin berada di sekitar Anda.
Mas Imam,
Terus terang, coba dipikir secara jernih. Kosakata, kalimat, frasa, yang muncul dari Anda, dari deputi Anda, dari Tim Sembilan bentukan Anda sampai dari BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia), hampir sebagian besar berisi kecaman, ancaman, menjelekkan, mendiskriditkan dan menghinakan insan sepakbola Indonesia. Terutama klub-klub sepakbola dan organisasi sepakbola, yang anggotanya juga klub-klub sepakbola.
Semua kalimat-kalimat itu disampaikan ke masyarakat melalui media massa. Seolah setiap hari ada update yang menjelek-jelekkan klub-klub sepakbola Indonesia. Mulai dari pengemplang pajak, diduga tempat cuci uang, praktek mafia judi dan lain-lain. Pokoknya, tidak ada baiknya. Semua masih tersimpan di google kalau mau dibaca-baca lagi.
Mas Imam,
Setahu saya, dan perlu juga Anda ketahui, klub-klub ini murni dikelola tanpa dana dari pemerintah. Dan semua tahu, pemilik atau pengurus klub rata-rata menjalankan klub memang berdasar hobi dan kesukaan. Artinya, siap rugi dan kedodoran. Meskipun oleh pengelola kompetisi, secara bertahap, dipaksa untuk menerapkan manajemen modern dengan orientasi bisnis. Kemudian pada masa tertentu bisa running well dan menguntungkan. Sekarang? Mungkin memang belum sampai pada tahap itu.
Soal kewajiban pajak. Harus disosialisasikan. Seperti amanat UU Perpajakan, dimana salah satu tugas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan adalah sosialisasi dan membantu wajib pajak untuk memahami kewajiban mereka kepada negara.
Jangankan klub sepakbola, belum lama ini Menteri Keuangan melansir ada sekitar 4.000 perusahaan belum memenuhi kewajiban pajak. Tentu dilakukan upaya oleh Dirjen Pajak untuk menangani. Tetapi tentu juga perusahaannya tidak diberhentikan.
Klub juga punya hutang dengan pihak ketiga. Terutama dengan pemain dan pelatih. Debt is debt. Liga mewajibkan hutang harus tetap dibayar, dengan skema yang disepakati. Jika dispute, selesaikan di badan yang sudah tersedia di induk cabang olahraga sepakbola.
Mas Imam,
Jangankan klub sepakbola, perusahaan dengan omzet dan aset triliunan juga punya hutang dengan pihak ketiga. Bahkan ada yang bad-debt. Bahkan kita tentu masih ingat, pemerintah justru yang membayari hutang-hutang mereka melalui bailout.
Lha belakangan, Anda, melalui BOPI, juga masuk ke urusan klub yang dikatakan masih dualisme dan bersengketa di pengadilan. Walah, terus terang, Anda terlalu masuk ke ranah yang tidak perlu diurusi Menpora. Biar saja lembaga di induk cabang olahraga atau pengadilan yang menyelesaikan. Di perusahaan lain juga banyak terjadi. Apa lantas perusahaan yang mengalami sengketa merek dagang atau sengketa kepemilikan saham disuruh berhenti dulu mesin produksinya? Kan tidak begitu.
Mas Imam,
BOPI merekomendasi 16 klub dari 18 klub peserta ISL sebagai klub yang profesional versi BOPI. Kan sejatinya begitu. Bukan BOPI melarang dua klub untuk berkompetisi kan? Karena itu berbeda lho, Mas.
Karena bila BOPI melarang, implikasinya luas dan ke mana-mana. Bukan saja BOPI ‘mematikan’ klub tersebut dan merugikan banyak pihak. Namun, BOPI juga ‘memaksa’ Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menjalankan ‘kemauan’ BOPI dalam mematikan klub tersebut. Ini nanti bisa menjadi masalah tersendiri Mas. Di ranah konstitusi dan perundangan.
Mohon maaf, saya ‘terpaksa’ harus mengingatkan kembali tentang konstitusi. Mungkin karena kesibukan, Anda tidak sempat membaca-baca lagi tema soal konstitusi dan perundangan.
Mas Imam,
Kalau dibaca lagi, tujuan konstitusi adalah untuk: yang pertama, Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang; yang kedua, Melindungi Hak Asasi Manusia dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
Tentang tugas dan peran polisi ditulis dengan jelas di konstitusi, Mas. Sedangkan Kementerian Olahraga yang sekarang Anda pimpin, sama sekali tidak disinggung. Polisi jelas ditulis di Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945 (amandemen); “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.”
Menegakkan hukum itu berada di kalimat terakhir, setelah melindungi, mengayomi, melayani masyarakat. Itu juga terserap cukup jelas di Undang Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Kalau BOPI, terus terang saja Mas, legalnya adalah Peraturan Menpora. Apalagi Permenpora jelas menulis BOPI adalah pembantu menteri dan bertanggung jawab kepada menteri. Ini saja sudah melanggar UU No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Jelas di UU SKN, lembaga untuk melakukan pengawasan dan pengendalian olahraga profesional itu adalah lembaga mandiri yang independen dan tidak dapat dintervensi siapapun, termasuk pemerintah. Lha kok ini pembantu menteri dan bertanggungjawab kepada menteri?
Makanya Mas, mengapa kemenpora tidak disebut di konstitusi sedangkan polisi dijelaskan melalui pasal dan ayat? Karena memang olahraga tidak perlu terlalu dalam diurusi negara. Kalau mau kerja nyata, siapkan sarana dan prasarana yang mendukung rakyat berolahraga untuk kemudian berprestasi.
Prestasi di olahraga itu kompleks Mas. Bukan saja di kemenpora. Mulai dari problem gizi dan kesehatan anak, sistem pendidikan di sekolah sampai infrastruktur. Lintas departemen. Ajaklah menteri-menteri lain untuk berpikir pentingnya prestasi olahraga bagi negara ini. Itu lebih baik.
Saya dapat kabar dari wartawan, Pak Wapres Jusuf Kalla beberapa hari lalu sebenarnya sudah menelepon dan meminta Anda untuk tidak mencampuri urusan internal kompetisi dan organisasi sepakbola. Termasuk jumlah peserta kompetisi dan jadwal kongres dan segala tetek bengek internal organisasi sepakbola.
Saya pikir Wapres Jusuf Kalla cukup jernih berpikir karena berpengalaman langsung di sepakbola. Tidak hanya di organisasi, tapi juga mengelola klub, saat itu kalau tidak salah Makassar Utama. Ini bedanya dengan Anda yang cuma fans sepakbola.
Jadi, please Mas Imam, jangan terlalu didengarkan pembisik-pembisik di sekitar Anda. Mereka itu menjerumuskan. Pejabat itu pelayan rakyat. Bukan penindas rakyat. HAM itu melekat di pemerintah. Karena itu pelanggar HAM selalu negara. Tidak ada rakyat melanggar HAM.
Jangan melampaui batas menggunakan kekuasaan. Agama Anda tentu sangat melarang itu.
Sekian kiranya surat saya ini. Maaf bila ada kalimat yang dirasa kasar.
Terakhir, jangan halangi kami bermain bola.
Wassalam,
Jakarta pinggiran
Imam ‘tanpa’ Nahrawi