[caption id="attachment_130046" align="aligncenter" width="500" caption="...apa benar hanya ada dua mata"][/caption] Agama, wahyu, hadits dan ajaran2 moral tentang agama, hmm........ sepertinya ini seringkali menjadi bumbu pedas perdebatan tak berujung oleh para penyanjung ilmu pengetahuan.... Wahyu Tuhan melalui kodifikasi ayat-ayatnya dan sunah nabiNya akan mereka pertanyakan jika dirasa tak sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Dengan latar belakang intelektual yang mereka miliki segala ajaran agama mereka tentang dan anggap tak sesuai karena tak sesuai dengan prinsip ilmiah dan aturan-aturan empiris. Hingga bermunculanlah istilah-istilah keren dari para manusia yang memiliki kaidah berpikir seperti itu.
Atheism, Agnosticism, Kaum Intelektual agama (tertentu), dsb. Ilmu dan pengetahuan empiris mereka posisikan bak gergaji yang dianggap mampu menjagal keabsahan ayat Tuhan, padahal tanpa mereka sadari mereka terhenti pada titik kesombongan dan berdiri diatas panggung kebodohan. Tiap ayat dan ajaran jika tak sesuai dan searah dengan pemikiran mereka (manusia) akan mereka tafsirkan dalam keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang dilatarbelakangi oleh egoism semata. Padahal jika kita biarkan mereka merunut secara objektif bagaimana ilmu dan pengetahuan itu terbentuk akan sangat menarik saat berbagai sanggahan tersebut telah terpatahkan oleh kaidah pemerolehan ilmu dan pengetahuan tersebut. Ilmu pengetahuan diperoleh oleh manusia melalui pijakan panca indera, dalam definisinya menurut Oxford dictionary sendiri ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan pendidikan, pemahaman atas objek tertentu sehingga melahirkan informasi dan fakta. Dalam ilmu neuro science tentunya berbagai pemahaman manusia adalah hasil encoding dari panca indera. Namun seorang philosopher Mark Zimmerman menyatakan bahwa panca indera yang memiliki kontribusi terbesar dalam proses stimulus dalam penyusunan kerangka informasi memiliki keterbatasan. Dia menyatakan bahwa manusia takkan mampu memperoleh ilmu yang paripurna (lengkap dan utuh) dalam penjara indera. Keterbatasan penangkapan sensor oleh lima panca indera manusia hanya membangun penafsiran kenyataan (reality) berdasarkan pseudo-assumption (asumsi subjektif) Jika hal ini masih dirasa kurang dalam membuat para agnosticism, atau para manusia2 yang merasa lebih pintar itu menjadi sedikit rendah hati dalam keterbuaiannya menyanjung ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya.....mungkin sebuah kenyataan dalam sudut pandang lain dapat lebih meyakinkan ....... Dalam ilmu neuro science, informasi sebagai wujud nyata diproses di otak manusia melalui perantaraan sensor, sinyal motorik syaraf system komplek ini melibatkan jaringan cell yang disebut neurons yang terkoneksi dalam sistem syaraf (nervous system) yang bermuara pada otak sebagai sistem pengolah sensor. Dalam indera penglihatan misalnya, sebatang pohon yang dilihat oleh retina manusia diteruskan dalam bentuk sensor menuju sistem syaraf. Jadi bukan bentuk asli pohon yang ditransmisi oleh syaraf manusia, namun hanya gelombang impuls elektrik atas objek itu sendiri yang telah diencoding oleh mata sebagai medium penglihatan manusia. Jadi pohon yang kita lihat hanyalah pencitraan otak di sudut tergelapnya. Konsep ini juga berlaku pada indera penciuman, peraba dan indera lain. Dalam sudut pandang ilmu psikologi proses ini ternyata menarik seorang tokoh constructivist
Georgry dalam risetnya, hasil konklusi riset beliau diantaranya :
KEMBALI KE ARTIKEL