By : Edy Santosa (No: 153)
Ryan bangun di hari minggu itu agak kesiangan. Matahari sudah sejak tadi bersinar. Jarum jam pendek sudah mendekati angka delapan ketika mata Ryan melihat jam dinding antik di ruang tamu. Huh! Ryan mendesis kesal. Ada rona kekesalan dalam raut mukanya. Bagaimana tidak kesal? Kemarin Ryan sudah berjanji pada teman-temannya untuk melanjutkan permainan bola melawan tim anak kampung pinggiran sungai di Minggu pagi. Janjinya jam 06.00 pagi berkumpul di lapangan pembatas antara komplek perumahan dengan kampung pinggir sungai. Tapi dirinya malah bangun kesiangan.
Ryan belum ingin mandi. Ia ingin duduk-duduk di teras rumahnya dulu untuk menghilangkan kekesalannya. Namun, langkahnya menabrak kardus besar yang diletakkan di luar pintu. Isi kardus berserakan. Ada botol-botol bekas air mineral, bekas sabun cuci, bekas shampo dan sabun mandi cair, dan beraneka barang yang sudah tidak berguna di rumahnya.
“Ryan! Kamu ini bangun-bangun malah membuat berantakan lagi barang-barang bekas yang sudah susah payah ibu kumpulkan. Bagaimana, sih?” teriak Ibu Ryan yang baru saja datang dari senam bersama di bundaran jalan utama komplek perumahan.
“Ibu, sih, gak mau bangunin Ryan. Ryan jadi gak bisa main bola lagi tadi. Padahal Ryan ingin membalas kekalahan tim Ryan kemarin sore.”
“Kamu ini, main bola saja kerjaannya. Sampai-sampai susah dibangunkan. Subuh tadi sampai jam tujuh pagi, ibu sudah berkali-kali membangunkan kamu.”
Ryan menggaruk-garuk rambutnya. Masa iya sih dirinya tadi sulit dibangunkan. Kalau merasakan tubuhnya yang masih agak capek, sepertinya yang dikatakan ibunya benar. Ah, ini sih gara-gara anak baru dari tim sepak bola anak kampung itu. Dia memang jago main bola. Ryan dan timnya yang biasanya tanpa perlawanan berarti, kemarin malah kebobolan 2 goal.
“Heh, kok malah melamun! Ayo masukin barang-barang bekas yang berserakan itu ke kardusnya! Mbok Ati mau ambil nanti!” suruh ibu sambil masuk rumah.
Mau tak mau, Ryan harus melakukan perintah ibunya. Memang dirinya yang memporakporandakan isi kardus itu, mau bagimana lagi. Satu persatu botol-botol plastik berbagai ukuran itu ditata kembali di dalam kardus. Saat memegang botol air mineral yang besar, Ryan tiba-tiba teringat pada tugas dari guru kelasnya untuk membuat sebuah hasil kerajinan tangan dari bahan-bahan bekas. Kata gurunya, jika kita dapat menafaatkan barang-barang bekas untuk digunakan kembali, berarti kita telah membantu menyelamatkan lingkungan.
Tapi, mau buat kerajinan apa ya? Eh, botol-botol bekas air minum mineral ini kan bisa dibuat mobil-mobilan? Ryan tersenyum ceria. Ia memang pernah melihat sekilas acara yang menayangkan cara membuat mobil-mobilan dari botol plastik bekas. Sayangnya, saat itu Ryan tidak menonton mulai dari awal. Yang Ryan lihat hanya saat botol plastik bekas itu sudah jadi mobil-mobilan. Bahkan ada yang dibuat seperti pesawat terbang.
Gak salah ah kalau aku coba! Semangat Ryan tidak surut. Ryan segera mengumpulan peralatan yang diambilnya dari berbagai tempat di rumahnya. Hasilnya terkumpulah: ada gunting, lem plastik, pisau, gergaji, dan beberapa peralatan lainnya. Segera saja Ryan memotong-motong botol plastik itu sesuai keinginanya. Namun, saat hendak membentuk jadi mobil-mobilan, ia kebingungan. Saat itulah sebuah suara membuyarkan konsentrasinya.
“Permisi!” Suara itu kembali terdengar. Ryan melihat seorang anak laki-laki sebaya dirinya sudah berdiri tak jauh dari tempatnya. Ryan jadi terbelalak ketika tahu siapa anak itu. Dia adalah anak baru tim sepak bola anak-anak kampung yang kemarin mengalahkan tim sepak bolanya.
“Kamu jagoan sepak bola anak kampung itu, kan?” tanya Ryan kasar.
“Ah, saya nggak jago main bola, kok. Cuma bisa saja, kok!” jawab anak itu merendah.
“Jangan bohong kamu! Kalau tidak ada kamu, tidak mungkin anak-anak kampung menang melawan timku.”
“Wah, kamu mau membuat mobil-mobilan dari botol plastik bekas, ya?”
“Bukan urusanmu! Sana pergi! Jangan menganggu!”
“Tapi…”
“Tapi apa? Mau aku hajar bersama anak-anak komplek? Dengan sekali teriak, anak-anak komplek akan berkumpul disini, tahu?”
“Anu…, saya disuruh Bibi Atik mengambil barang-barang bekas disini. Katanya, pemilik rumah sudah menaruhnya diluar. Saya disuruh minta ijin mengambilnya.”
“Pergi kataku!” bentak Ryan yang sebenarnya kebingungan dengan potongan-potongan botol plastik di sekitarnya.
“Ryan, kenapa sih teriak-teriak?” Mama Ryan keluar sambil membawa karung bekas untuk memasukan kardus yang berisi botol-botol bekas. “Eh, siapa ini?”
“Selamat pagi, Tante! Saya keponakan Bibi Atik. Saya disuruh Bibi mengambil barang-barang bekas disini. Soalnya Bibi lagi tidak enak badan.”
“Oh, begitu! Kalau begitu bantu sekalian mengeluarkan barang-barang bekas yang masih ada di dalam, ya! Masih ada sisa sedikit.”
Anak dari kampung pinggir sungai itu mengangguk senang, kemudian mengikuti Ibu Ryan ke dalam. Sebentar kemudian sudah keluar membawa tumpukan koran-koran dan majalah-majalah bekas. Anak itu menatanya di dekat Ryan tengah kebingungan memikirkan cara membuat mobil-mobilan dari botol plastik bekas. Dan, sesekali anak itu melirik pada Ryan sambil tersenyum.
Ryan tahu kalau ia diperhatikan diam-diam. Melihat anak itu tersenyum, Ryan merasa diejek.
“Kamu mengejek aku, ya? Memangnya kamu bisa membuat kerajinan dari botol plastik bekas? Anak kampung saja belagu, kamu.”
“Mau aku ajari?” kata anak itu sambil memperlihatkan wajah serius di depan Ryan.
“Boleh!”
“Tapi, kita kenalan dulu! Namaku Irwan,” kata anak itu sambil mangangsurkan tanganya mengajak berjabatan.
“Nggak usah berjabat tangan deh! Tanganmu kotor. Namaku Ryan!”
“Memangnya tanganmu nggak kotor?” kata Irwan sambil tersenyum. Ryan memperhatikan tanganya yang belepotan lem plastik waktu mencoba mengelam plastik tadi.
Tak lama kemudian dua anak laki-laki sebaya itupun sudah asyik membuat kerajinan tangan dari botol plastik bekas. Irwan mengajari Ryan bagaimana membuat desain, memotong sebagain dari botol-botol plastiku itu dan merekatkan dengan lem plastik. Menempel beberapa tambahan agar mobil-mobilan itu semakin menarik. Dan jadilah dua mobil-mobilan dari botol plastik bekas dengan bentuk yang manrik. Ryan tersenyum puas.
“Hebat juga kamu, Wan! Selain jago main bola, ternyata kamu juga jago dalam mebuat kerajian dari barang bekas.”
“Anak-anak pelosok kampung memang harus kreatif, Ryan! Di kampung pelosok tidak banyak mainan seperti di kota. Jadi, anak-anak kampung pelosok harus membuat mainannya sendiri dari barang-barang bekas yang ditemukan. Kamu tahu tidak? Kalau di kampungku, botol plastik bekas sudah jadi mobil-mobilan yang di dorong pakai bilahan bambu atau diseret kesana kemari pakai tali plastik atau benang.”
“Hebat juga anak-anak kampungmu, Wan. Terima kasih ya, Wan! Kamu telah mengajariku membuat kerajinan dari barang bekas. Dan, maaf kalau tadi sikapku tidak baik!”
“Ah, nggak apa-apa, Ryan! O, iya! Sekalian aku pamit ya. Besok aku mau pulang ke kampungku. Soalnya besok orang tuaku sudah mau pulang dari mengunjungi Bibi Atik!”
“Wah, kalau begitu kita salaman dong!”
“Tanganku kan masih kotor, Ryan!”
“Tanganku kan juga kotor!”
Dua anak lelaki sebaya itu pun tertawa bersama sambil berjabat tangan. Erat sekali. Seakan tidak mau persahabatan yang barus saja terjalin harus terputus sampai disitu. Persahabatan memang indah. Seindah hasil kerajinan tangan buatan Ryan bersama Irwan tadi.
)()()()()()()()()(
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community: Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community