Sungguh sebuah ironi jagat olah raga yang selalu mengedepankan Fair Play. Bendera Fair Play yang senantiasa dibentangkan sebelum pertandingan hanyalah kata-kata semu tanpa makna.
Apapun alasannya sepak bola adalah seni olah raga yang dicintai oleh masyarakat dunia. Olah raga paling populer dan banyak penggemar. Tengok saja setiap pertandingan sepak bola, ratusan ribu sporter berbondong-bondong datang kestadion. Mereka hanya ingin melihat sepakbola yang menarik.an
Tiki-taka ala Spanyol, Total Football Belanda, Kick n Rush Inggris dan seterusnya. Bukan melihat pertandingan tinju, karate atau pencak silat.
Jawa Tengah sebagai pencetak generasi sepak bola paling handal selain Papua. Kurniawan Dwi Yulianto atau Bambang Pamungkas adalah produk asli Jawa Tengah. Tentu masih banyak lagi berapa atlet sepak bola asli Jawa Tengah yang bisa membela timnas.
Jika berbcara klub tentu kita ingat Arseto Solo dengan segudang pemain topnya. Jika dalam sepak bola modern tentu PSIS dan Persis Solo adalah contoh riil. Dipesisir utara Jawa Tengah ada Persijap Jepara dan Persiku Kudus. Klub-klub ini adalah contoh riil jika Jawa Tengah memiliki segudang talenta sepakbola. Bahkan pelita pernah bermarkas di Solo dengan nama Pelita Solo FC.
Sebagai wong Solo saya prihatin dengan kabar duka sepak bola Jawa Tengah. Stadion Jatidiri dan Gelora Manahan yang merupakan simbol sukses sepak bola Jawa Tengah tentu ikut merana.
Hari-hari mendatang lagi kita tidak akan tahu kegaduhan para sporter di Solo atau di Semarang. Mau kemana lagi sepak bola Jawa Tengah berakar. Bakat-bakat sepak bola Jawa Tengah akan terbang ke daerah lain yang lebih kondusi iklim sepak bolanya.
Teriakan sporter akan terbenam oleh sikap yang tidak fair antara pemain, sporter dan tim secara keseluruhan. Harapan para pecinta sepak bola sangatlah sederhana. Bisa melihat indahnya sepak bola lebih dekat. Melihat talenta-talenta muda bekerja keras mengharumkan nama bangsa kedepannya.