Namun, film berhasil menempatkan Kartini melebihi dari apa yang dianggap selama ini. Kartini bukanlah pejuang perempuan, melainkan pejuang keadilan. Kartini bukan soal perempuan ingin sama dengan lelaki, melainkan bagaimana perempuan dapat menjadi tidak sama. Kartini bergerak bukan karena kepentingannya diganggu, melainkan wujud empati atas kebodohan masyarakatnya.
 Kartini bukan menentang suami, bapaknya, atau ibunya. Kartini menantang pemikiran masyarakat, khususnya pemikiran para perempuan. Kartini bukan follower kaum feminisme Belanda, tetapi memberikan alternatif pemiiran yang khas Indonesia.
 Dalam film ini, Kartini tidak bisa lepas dari pemikiran Belanda, buku dan interaksi memberikan pengaruh atas penyempurnaan pemikirannya. Namun berbeda dengan feminisme Belanda, Kartini mempertimbangkan ajaran moral masyarakat Jawa, yaitu peran sebagai pangkuan, yang mampu menciptakan kesetimbangan. Feminisme berorientasi pada dua sisi yang berhadap-hadapan. Kartini menempatkannya sebagai dua hal yang saling dicari kesetimbangan.
 Pemikiran feminisme Belanda yang berorientasi pada mazhab utilitarian menyebabkan orientasi pada upaya menghasilkan output dan outcome perempuan. Kartini mengajarkan bahwa kesempatan bukan untuk memperoleh sesuatu, tetapi lebih kepada memberikan. Karenanya, niatan wanita melakukan sesuatu bukan sebagai pencapain prestasi, melainkan wujud bekti (bakti).
 Film ini mengajarkan bahwa menjadi sesuatu bukanlah tujuan, melainkan cara. Kartini tidak mempermasalahkan artikelnya dibuat atas nama bapaknya. Kartini menerima kenyataan melepas beasiswa dan menerima keputusan pernikahan yang ia tidak sukai.