*
“Namaku Hanna, salam kenal!” dengan senyum yang hangat, gadis berambut pendek itu mengulurkan tangannya. Aku masih ingat kejadian itu, malam di mana pertama kali aku bertemu dengannya di lantai dua mini market dekat persimpangan jalan. Alamak, bagaimana bisa aku tidak mengenalnya, dia adalah salah satu anak magang di kantor dan selama ini aku sama sekali tidak pernah sekalipun memperhatikannya. Ternyata dia menempati sebuah kamar kos yang tidak jauh dari tempat kos ku. Satu hal yang membuatku terkejut, selama ini dia selalu memperhatikan ku.
“Maaf sayang, aku baru sempat balas. Kemarin aku ada rapat BEM.”
SMS dari Farah itu sedikit membuat perasaanku lega setelah semalaman suntuk tadi gundah tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Sungguh itu adalah perasaan yang aneh dan tidak jelas, ketika pacar mu seharian tidak pernah sekalipun ada kabarnya. Bukan kali ini saja Farah semakin sulit dihubungi, beberapa minggu terakhir Farah semakin sibuk dengan kegiatannya sebagai wakil ketua BEM di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Hubungan kami sudah berjalan hampir 3 tahun, tidak pernah ada masalah yang begitu bearti selama ini, selalu baik-baik saja sampai pada beberapa minggu terakhir ini, hubungan kami semakin renggang. Selalu saja ada kesalahan pahaman dan pertengkaran diantara kami berdua. Aku mencoba untuk memahami akan posisi Farah yang semakin sibuk. Pada akhirnya aku harus selalu menyibukan diri dengan berbagai kegiatan untuk melupakan segala gundah dan perasaan negatif tentang keadaan Farah di sana.
Masih ingat Hanna? Gadis berambut pendek yang aku ceritakan di awal kisah? Sejak perkenalan di mini market itu, hubungan pertemanan kami semakin dekat. Apalagi dengan letak kos nya yang tidak jauh dari tempat kos ku secara tidak langsung membuat kami selalu pulang dari kantor bersama hampir setiap malam. Kamu tidak akan percaya, sampai saat ini, Hanna menjadi satu-satunya manusia dalam hidupku selain kedua orang tua yang hampir selalu mengikuti kemana aku hendak pergi. Gadis periang itu selalu bertanya dengan rasa penasarannya yang tinggi, “Hari ini mau kemana?” kemudian ketika rasa penasarannya itu terjawab pasti selalu diikuti kata-kata permohonan yang sedikit memaksa, “Aku boleh ikut ya?”. Dan apa daya, inilah jeleknya aku, kata orang-orang sifat yang terlalu “gak enakan” malah akan membuat dirimu susah. Akhirnya, kemana pun aku pergi, Hanna selalu mengikuti. Ke pasar tradisional, swalayan, kebun binatang, taman, toko buku, arena olahraga, MONAS, bahkan ke tempat di mana biasanya aku selalu menghabiskan waktu menyendiri di rooftop sebuah gedung perbelanjaan yang tidak jauh dari tempat kos. Semenjak Farah memutuskan untuk kuliah di Surabaya, di rooftop iniliah biasanya aku selalu menyendiri menghabiskan waktu memandangi langit senja yang temaram sambil memikirkan Farah.
Sore itu, seperti biasa aku menghabiskan waktu memandangi langit di rooftop favorit. Namun satu hal yang berbeda dengan sore-sore sebelumnya, saat ini selalu ada Hanna di sampingku. Kemana aku pergi ia selalu mengikuti. Saat ini ia sedang sibuk dengan kamera DSLR nya, sementara aku? aku sibuk memikirkan Farah. Aku tak pernah menceritakan apapun tentang Farah pada Hanna. Menurutku Hanna sama sekali tidak perlu tahu dan tidak mempunyai kepentingan untuk tahu akan hal itu.
“Udah malam nih, makan yuk!”
Suara Hanna memecah lamunan ku tentang Farah. Belum aku sempat memberikan pendapat untuk menyetujui ajakannya atau tidak, Hanna sudah keburu meraih tanganku dengan sigap, menarikku seperti seorang ibu yang sedang menuntun anaknya.
**
Sudah dua minggu berlalu dan hubungan kami semakin menjauh. Aku dan Farah semakin jarang berkomunikasi. Ada perasaan rindu bercampur kesal yang tak bisa dijelaskan. Segala pikiran dan prasangka yang aneh selalu datang menghantui. Namun kini, aku harus sedikit berterima kasih pada Hanna. Semenjak aku berteman dengannya, dia selalu bisa membuatku mengalihkan segala pikiran yang selalu berkecamuk tentang Farah. Sampai sekarang pun aku belum mengerti mengapa ada orang yang mau sampai sebegitu dekatnya berteman denganku. Apa yang menarik dari seorang introvert sepertiku? Entahlah.
Hari itu Hanna mengajakku ke sebuah taman yang tak jauh dari letak kos kami. Hampir setiap senja ia mengajakku untuk menemaninya berburu foto, dan saat ini ia tengah sibuk dengan kameranya, sementara aku duduk di sebuah kursi taman sambil mengotak-ngatik notebook-nya. Ia mempersilahkanku untuk melihat hasil jepretannya selama beberapa hari terakhir ini. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat foto-foto itu. Sampai pada akhirnya, tanpa sengaja aku membuka sebuah halaman blog yang sepertinya belum sempat ia tutup. Blog itu milik Hanna. Terlihat jelas dari nama blognya, foto blogger dan artikel-artikel yang ditulis tentang fotografi dan foto-foto yang di posting pada blog itu. Dengan rasa penasaran aku membaca-baca beberapa artikel yang ditulisnya.
“Ardy !” Teriak Hanna dari kejauhan. Gadis itu melambaikan tangan. “Ayo kita makan!” Serunya. Astaga kenapa mesti teriak-teriak, gadis yang aneh, pikirku.
Malam harinya, aku kembali membuka blog Hanna yang tadi sore belum selesai aku baca. Rasa penasaran memerintahkanku untuk melakukannya. Dari beberapa artikel yang ditulisnya, aku menemukan sebuah artikel yang isinya menceritakan kisah tentang perkenalannya dengan seorang pria. Astaga, pria yang diceritakannya itu adalah aku. Walaupun ia tidak menuliskan dengan jelas siapa nama pria itu, tapi aku sangat yakin itu adalah aku. Dari kisah-kisahnya yang dituliskan beberapa hari terakhir ini, tidak salah lagi itu aku, ya itu aku.
Satu hal yang membuatku terkejut, ternyata jauh sebelum perkenalan kami di mini market itu, Hanna ternyata sudah lama memperhatikanku. Ada perasaan tersanjung ketika kamu mengetahui bahwa kamu sedang diperhatikan oleh seseorang. Sejak malam itu, hampir setiap malam aku selalu menyempatkan diri membaca blog-nya. Menunggunya dengan berdebar menuliskan tulisan terbaru, kisah-kisah baru, entah itu tentang fotografinya ataupun tentang aku.
Malam-malam berikutnya selalu ada saja tulisan-tulisan terbaru yang dituliskan Hanna di blognya. Setiap malam aku tersenyum-senyum sendiri membacanya. Dia selalu menceritakan kisah hari-harinya, dan selalu ada aku dalam setiap ceritanya. Apa mungkin Hanna suka pada ku? Kenapa aku bisa berpikir demikian? Entahlah. Yang pasti, Hanna selalu bisa membuat hari-hari ku menjadi lebih baik. Apa mungkin aku juga jatuh cinta padanya? Hmm rasanya bukan pemikiran yang bijak, ketika kamu sudah memiliki seorang kekasih, namun memikirkan untuk jatuh cinta pada orang lain.
Hingga pada suatu malam, aku membaca salah satu tulisannya yang pada akhirnya malah membuat pikiranku semakin gundah. Hanna dengan jelas menuliskan bahwa ia mencintaiku. Dari hal yang tadinya hanya aku duga, kini menjadi sebuah fakta yang tak terbantahkan. Semenjak aku mengetahui perasaannya, aku menjadi sedikit canggung setiap kali bertemu dengannya. Hanna sama sekali tidak tahu kalau selama ini aku selalu membaca blognya. Apa jadinya kalau ia tahu? Apa ia akan malu? Atau malah membuatnya semakin berharap? Satu hal yang sangat aku khawatirkan ialah Hanna sama sekali tidak tahu bahwa aku sudah mempunyai pacar. Aku sangat tidak tega jika harus berkata jujur akan hal itu. Dan, rasa “gak enakan” ku ini semakin membuat masalah semakin runyam. Membuatku tetap menyimpan rahasia ini dalam diam.
***
Hari ini adalah tepat hari ulang tahunku. Dari semalam aku menunggu ucapan selamat dari Farah. Namun nampaknya aku terlalu tinggi berharap. Sampai pagi, ucapan itu tidak pernah ada. Aku malah dikejutkan dengan sebuah amplop coklat yang tergeletak di depan pintu kamar kos. Tidak dituliskan dari siapa amplop itu, yang tertulis jelas hanya kata-kata ucapan selamat ulang tahun. Aku meraihnya, dan menemukan sebuah CD di dalamnya. Dengan rasa penasaran aku memutarnya pada laptop. Dan di dalamnya ada sebuah video yang memuat foto-fotoku. Foto-foto yang tidak pernah aku sadari kapan aku pernah difoto seperti itu. Foto-foto yang diam-diam diambil tanpa aku sadari. Dan diakhir video, terteralah sebuah nama dari seseorang yang membuat pikiranku malah semakin tidak jelas akhir-akhir ini. Hanna.
Entah seperti apa sekarang perasaanku pada Hanna. Mungkin benar kata orang, cinta datang karena terbiasa. Tapi cinta yang ini datang pada waktu yang salah. Aku tidak bisa mencintai wanita lain selama aku masih memiliki Farah. Tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Semua yang telah Hanna lakukan padaku, membuatku benar-benar merasa jatuh cinta.
Rasa gamang tidak menghentikanku untuk kembali membaca blog Hanna. Namun kini, tulisan-tulisan Hanna banyak menyiratkan kekecewaan. Kekecewaan bahwa pria dalam kisahnya itu tidak pernah juga menyadari bahwa Hanna mencintainya. Segala upaya telah dilakukan Hanna untuk membuat pria itu tahu bahwa Hanna mencintainya. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ya Tuhan, aku bukannya tidak mengetahui perasaanmu, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku terjebak dalam sebuah keadaan yang akupun tidak tahu harus bagaimana. Apa aku harus memutuskan Farah yang seperti sudah tidak menyayangiku lagi? Atau menafikan perasaan yang sudah terlanjur tumbuh pada Hanna? Entahlah, rasanya aku ingin loncat dari rooftop tempat biasa aku menyendiri. Tapi kematian yang dipaksakan bukanlah sebuah solusi. Hanya para pengecutlah yang memilih jalan itu.
Beberapa hari ini, seperti ada yang berubah dari diri Hanna. Ia tidak seriang dulu, ia tidak menanyakan kemana aku akan pergi dan ia tidak memaksaku untuk mengijinkannya terus membuntutiku. Dan celakanya, aku mulai merasa kehilangan.
Aku masih saja terus membaca blog Hanna. Dari setiap tulisan yang aku baca, aku begitu merasakan rasa kekecewaan Hanna yang semakin besar tentang perasaan dan harapannya. Maaf Hanna, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Andai saja kita bertemu di waktu yang tepat, aku pasti tidak akan merasa sebimbang ini.
Senja itu, Hanna tiba-tiba mengirimkan sebuah pesan SMS.
“Ardy, bisa temui aku di rooftop biasa?”
Hanna menemuiku dengan wajah yang muram.
“Ardy, hari ini adalah hari terakhirku magang di Jakarta. Besok aku harus kembali ke Jogja. Maaf tidak pernah cerita tentang ini sebelumnya.”
“Ya, semoga kamu sukses ya,” balasku dengan senyum.
“Aku gak tahu kapan akan balik lagi ke sini. Gak adakah hal lain yang mau kamu katakan sama aku?” Tanyanya dengan rasa penasaran namun setengah berharap.
Aku memahami maksud Hanna, dan aku paham pertanyaan apa yang ia inginkan dariku. Apalagi kalau bukan tentang perasaan. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ya. Tentu saja ada. Semoga baik-baik saja di sana. Jaga diri baik-baik.”
Ada sebuah tanda yang tersirat dari bola matanya. Tanda kekecewaan yang mendalam. Kekecewaan bahwa dalam pikirannya, aku tak pernah sadar tentang perasaannya.
“Ya. Terima kasih,” Hanna mencoba tersenyum menguatkan hati. Setelah itu, Hanna berjalan dengan dingin pergi meninggalkanku. Tak ada lagi ajakan untuk pergi makan bersama seperti biasanya.
****
Suara telepon di minggu pagi memaksaku untuk segera bangun dari bermalas-malasan. Tak seperti biasanya Farah tiba-tiba menelepon. Sudah berminggu-minggu kami tidak saling berkomunikasi lewat telepon. Jangankan Farah yang sengaja menelepon terlebih dahulu, ketika aku hendak meneleponpu tidak pernah ia angkat.
Suara Farah sedikit bergetar terdengar dibalik telepon. Entah apa yang hendak ia katakan.
“Ardy, aku mau kita putus.”
Kata-kata Farah seolah meremas paru-paruku. Sesak rasanya. Aku diam tak menjawab. Aku masih berharap kalau ini hanya mimpi di minggu pagi yang malas.
“Aku gak mau bikin kamu kepikiran terus tentang aku. Aku terlalu sibuk.”
Sibuk? Jika memang seseorang itu memang mencintai, sesibuk apapun tidak akan pernah membuat seseorang yang dicintainya itu merasa khawatir. Bagiku ini alasan yang tidak masuk akal. Aku sudah geram dengan sikapnya selama ini. Alasan apapun yang dia punya, jika memang ia masih mencintai, ia akan mencoba untuk bertahan. Aku tidak mau berdebat panjang lebar, bagiku ini sudah selesai. Tak ada jalan lain selain membiarkannya pergi.
Ditengah rasa sakit yang baru saja aku rasakan, aku kembali teringat Hanna. Gadis periang yang selalu bisa membuat hari-hariku penuh tawa. Sudah seminggu aku tidak pernah berhubungan dengannya. Sejak pertemuan terakhir di rooftop gedung itu, aku tidak pernah lagi mengontaknya. Ia pun tidak pernah lagi mengirim SMS menanyakan “Hari ini mau kemana?”
Bagiku urusan dengan Farah sudah selesai, ada wanita lain yang menungguku di sana. Menungguku dengan penuh harap. Wanita yang entah sedang apa dia sekarang, aku tak tahu. Bahkan blog yang sebelumnya selalu ia update tiap haripun kini sudah seminggu lebih tidak pernah ada tulisan baru lagi. Aku sungguh merindukannya.
Aku coba hubungi nomor teleponnya berkali-kali, nanun sepertinya sudah tidak aktif lagi. Sialan, sekarang keadaannya berbalik. Aku yang kini berharap cemas, merindukannya, merindukan tawanya, riangnya, merindukan kata-kata memaksanya untuk selalu mengikutiku, merindukan setiap ajakannya, merindukan ketika ia selalu mengajakku untuk pergi makan. 6 bulan berlalu, aku tidak tahu ia di mana.
Di bulan yang ke 7, sebuah SMS yang masuk seolah menjadi pelepas dahaga kerinduanku pada seseorang yang aku cinta.
“Ardy, tanggal 15 bulan ini aku ada tugas di Jakarta. Bisa ketemu? Hanna.”
*****
Kamu pasti tahu bagaimana rasanya jika hendak bertemu dengan seseorang yang kamu cinta, berbunga-bunga, malu, canggung, bahagia, penuh harap, tak sabar menunggu dan entah berjuta perasaan aneh lainnya yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hari ini tanggal 15, Hanna mengajaku bertemu di rooftop gedung tempat biasa kami selalu menghabiskan waktu senja. Bagiku ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan. Mengungkapkan perasaan yang sama seperti Hanna rasakan padaku. Tidak ada kesempatan kedua lagi bagiku untuk melewatkannya begitu saja. Hari ini aku harus mengatakannya.
Tepat pukul 5 sore, aku sudah berada di tempat itu, menunggunya dengan harap cemas. 15 menit berlalu, seorang wanita menghapiriku. Menatapku dengan penuh tanda tanya.
“Ardy?”
Hanna, akhirnya dia datang.
“Ada hal yang mau aku sampaikan sama kamu,” ujarku.
Hanna tersenyum tipis. “Aku juga, makanya aku ngajak kamu ketemu.”
“Kamu mau bilang apa?” Tanyaku dengan rasa penasaran. Jantungku berdetak seratus kali lebih cepat. Nafasku memburu seperti habis dikejar anjing liar. Apa dia mau mengungkapkan perasaannya juga? Pikirku.
“Aku mau ngasi ini,” Hanna menyodorkan ku sebuah lipatan kertas. Aku menatapnya lamat-lamat, bertanya-tanya dalam hati. Satu hal yang terlihat jelas dari kertas itu adalah tulisan undangan pernikahan.
“Bulan depan aku mau nikah. Kamu harus datang ya!” ujar Hanna dengan senyum yang hangat. Senyum yang pertama kali aku lihat ketika berada di mini market persimpangan jalan.
Jika tadi jantungku serasa berdetak seratus kali lebih cepat, kini jantungku serasa mati. Tidak berdetak, nafas sesak dan detik waktupun seperti terhenti.
Sebelum Hanna pamit untuk pulang, ia menyodorkanku sebuah lipatan kertas lain. Aku menahan diri untuk membukannya, sebelum ia benar-benar beranjak pergi. Pada kertas itu tertulis sebuah kalimat:
“Yang kini, belum tentu menjadi yang nanti. Yang datang belum tentu yang terbaik. Semoga kamu selalu diberi yang terbaik.”
Di akhir senja, aku akhirnya menyadari bahwa rasa cintaku padanya hanya akan menjadi angan-angan yang sudah pasti tidak mungkin bisa aku raih lagi. Aku diam berdiri, mematung sendiri, memandangi Hanna yang berjalan semakin jauh. Hanna pergi membawa benih-benih cintanya yang tak jadi ia tanam.
Hanna segera menemui waktu yang paling bahagia, sementara aku? Aku menemui waktu menyesali diri.