Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Perpindahan Dukungan Partai dalam Kasus Ridwan Kamil dan Anies Baswedan di Pilgub Jakarta

21 Agustus 2024   21:30 Diperbarui: 21 Agustus 2024   21:38 71 1
Dalam dunia politik, seringkali terlihat bahwa kepentingan partai politik menjadi pusat dari setiap keputusan yang diambil. Politik, yang idealnya bertujuan untuk melayani masyarakat, sering kali menjadi alat untuk mencapai tujuan dan keuntungan partai. Salah satu contoh yang menarik untuk dicermati adalah fenomena politik di DKI Jakarta, ketika Ridwan Kamil tiba-tiba mendapatkan dukungan penuh dari hampir semua partai politik dan beberapa partai yang sebelumnya mendukung Anies Baswedan. Fenomena ini mengungkapkan bagaimana politik dapat berubah dengan cepat, dan lebih mencerminkan kepentingan partai daripada komitmen ideologis atau moral.

Dalam rencana koalisi sebelumnya, Anies Baswedan didukung oleh koalisi partai seperti PKB, PKS, dan Nasdem. Namun, dalam hitungan waktu yang singkat, semua partai ini beralih mendukung Ridwan Kamil, meninggalkan Anies tanpa dukungan partai yang dulu menjadi pondasinya. Pergeseran ini menunjukkan bahwa dalam politik, kesetiaan partai bersifat sementara dan dapat berubah sesuai dengan kepentingan strategis yang ingin dicapai.

Teori Realisme menekankan bahwa aktor politik, termasuk partai, akan selalu mengejar kepentingan mereka sendiri, terutama dalam mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, keputusan partai-partai untuk mendukung Ridwan Kamil dapat dianggap sebagai upaya untuk menjaga pengaruh politik dan akses ke kekuasaan. Dukungan Partai-partai terhadap Ridwan Kamil dipandang lebih menguntungkan bagi kepentingan partai daripada mempertahankan dukungan terhadap Anies Baswedan.

Dalam konsep sistem partai dan koalisi dalam demokrasi, yang menekankan bahwa koalisi partai seringkali lebih didasarkan pada pragmatisme politik daripada ideologi. Aliansi partai bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi selalu bergantung pada perhitungan keuntungan politik. Dalam kasus ini, Ridwan Kamil mungkin dianggap sebagai calon yang bisa memenangkan suara pemilih dan memberikan keuntungan politik bagi partai-partai pendukungnya. Di sisi lain, Anies, yang sebelumnya didukung, mungkin dianggap sebagai kandidat yang kurang kompetitif dalam konteks politik yang berkembang. Ditambah lagi Anies mempunyai idealisme yang lebih tinggi dibanding kandidat yang lain, sehingga tidak ada celah partai politik untuk meraih keuntungan.

Pergeseran dukungan politik semacam ini memiliki implikasi besar terhadap sistem demokrasi. Pertama, hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap partai politik. Ketika partai-partai dengan mudah berpindah dukungan demi keuntungan politik jangka pendek, pemilih dapat melihat hal ini sebagai bukti bahwa partai tidak benar-benar memperjuangkan prinsip atau kebijakan tertentu, melainkan hanya fokus pada kekuasaan dan keuntungan. Hal ini dapat menyebabkan apatisme politik di kalangan pemilih, yang pada akhirnya merugikan kualitas demokrasi.

Kedua, perubahan koalisi yang begitu cepat juga dapat menciptakan ketidakstabilan politik. Ketika aktor politik terus-menerus mengubah arah dukungan, sulit untuk membangun kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan. Selain itu, hal ini dapat memperkuat persepsi bahwa politik adalah permainan elit yang terlepas dari aspirasi rakyat, di mana keputusan diambil berdasarkan kalkulasi elit politik, bukan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik. Apakah sistem politik kita sedang menuju model di mana partai-partai politik kehilangan identitas ideologis mereka demi kepentingan pragmatis?

 Jika ya, demokrasi bisa kehilangan makna sebagai sebuah sistem yang mewakili beragam aspirasi politik dan kebijakan, dan justru menjadi alat bagi elit politik untuk mempertahankan kekuasaan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat luas.

Studi kasus Ridwan Kamil dan Anies Baswedan di DKI Jakarta adalah ilustrasi nyata tentang bagaimana politik dapat bergeser dengan cepat sesuai dengan kepentingan partai. Pergeseran ini mencerminkan bahwa dalam politik, kepentingan partai seringkali lebih penting daripada komitmen kepada kandidat atau prinsip ideologis. Jika fenomena ini terus berlanjut, dampaknya adalah demokrasi bisa rusak, karena sistem politik bisa kehilangan legitimasi di mata publik dan menjadi semakin lepas dari aspirasi rakyat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun