Obrolan semalam dengan salah seorang teman saya, cukup membuat saya mengantuk (meski pada awal obrolan, saya cukup menggebu-gebu mendengarnya karena rasa penasaran saya). Pasalnya makin jauh ceritanya, makin keras saya memutar otak dan puncaknya saya cepat mengantuk dan segera menyelesaikan obrolan suam-suam kuku tersebut.
Teman saya ini memang sudah saya kenal lama, sebagai seorang dosen sekaligus pengamat politik daerah yang plus memiliki jam terbang lumayan untuk peranannya dalam hal Pilkada dibeberapa kabupaten di Jawa Timur untuk periode waktu lalu.
Topik saya ini sebenarnya sudah cukup lama menggelayuti rasa penasaran saya. Bukan karena saya merasa cukup mampu dan ngotot pingin ikut-ikutan dalam hal Pilkada, tapi jujur .. apa salahnya juga saya memuaskan rasa keingintahuan tersebut. Siapa tahu hasilnya .... cocok !! hahaha.
Apalagi sejak Joko Widodo yang sangat fenomenal sebagai pemimpin ideal saat ini Booming !!.. wah, banyak sekali teman-teman saya yang ikutan 'ngiler' pingin mimpinya bisa terwujud seperti beliau ! jadi pemimpin daerah yang baik-baik dan dicintai rakyatnya.
Dalam hati : saya juga kepingin ... tentu dengan mengabaikan dulu sisi-sisi minus yang banyak saya miliki. Agar rasa ngilernya bisa lebih percaya diri. Saya beralasan : optimis saja ! walah .. hehehe
Oke kembali pada obrolan 'dia' semalam, yang dibicarakan soal Pilkada Bupati ! .. menurutnya :
Adapun calon Bupati yang 'kurang beruntung', yaitu kendaraan politik belum jelas dan masalah anggaran juga masih gelap. Semuanya bersumber dari masalah anggaran. Bisa jadi belum jelasnya kendaraan politik calon Bupati bukan masalah strategi, tetapi semata-semata karena persoalan anggaran. Hitung-hitungan 'dia' setidaknya untuk calon Bupati yang sudah 'siap' dibutuhkan anggaran sekitar Rp 6-9 miliar, terutama untuk kebutuhan biaya pelaksanaan pilkada. Karena kendaraan politik sudah teratasi, sekalipun bukan berarti tidak membutuhkan anggaran untuk mendapatkan kendaraan tersebut.
Sedangkan calon Bupati yang sama sekali 'baru' harus menyediakan setidaknya antara Rp 10-13 miliar, dengan perincian Rp 2-3 miliar untuk mendapatkan kendaraan politik, Rp 6-9 miliar untuk biaya pelaksanaan pilkada dan sekitar Rp 2 miliar untuk beban-beban lain. Lalu bagaimana dengan pemain baru ? Setidaknya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 10-15 miliar. Itupun jika sudah ada kepastian jadi maju-tidaknya dan kendaraan politik sudah jelas. Karena untuk sosialisasi dalam waktu beberapa bulan tidaklah murah, baik dalam membangun jaringan dan popularitas.
Disisi lain ada beberapa model penawaran anggaran dengan syarat dan prosedur yang tidak mudah. Misalnya, ada seorang sponsor (botoh) yang menawarkan pinjaman Rp 1 miliar dan pengembaliannya dua kali lipat (Rp 2 miliar). Model lain, misalnya, pinjam Rp 1 miliar, kemudian dipotong dimuka 5 persen. Cara pengembaliannya, jika kalah harus dibayar penuh Rp 1 miliar dan jika menang harus mengembalikan Rp 1 miliar, dengan tambahan 25 persen atau sekitar Rp 250 juta. Padalah dibutuhkan anggaran sekitar Rp 6 – 13 miliar. Jadi, hanya calon Bupati yang nekad dan yang tidak punya pikiran jangka panjang yang mau bertransaksi dengan sponsor (botoh) tersebut.
Bagaimana dengan calon Bupati, sebagai incumbent ? Fenomena ini sebenarnya berlaku pada siapa saja sebagai incumbent. Tidak salah jika anggapan banyak pihak bahwa yang bersangkutan (incumbent) yang paling siap dalam masalah anggaran. Ini berandai-andai saja dan memang sulit dibuktikan (Seperti kentut). Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan APBD dan pengelolaan kekuasaan atau kewenangan sebagai Bupati, misalnya, dalam rekrutmen dan mutasi PNS di lingkungan Pemkab. Ini sifatnya spekulatif (bisa benar dan bisa salah, juga bisa lebih kecil atau bahkan lebih besar yang diperoleh dari hitungan tersebut).
Jika dalam waktu 4 tahun saja (sengaja tidak dihitung 5 tahun) nilai anggaran APBD Kabupaten (misalnya saja ya..) sekitar Rp 700 miliar. Setelah diambil untuk biaya rutin, termasuk di dalamnya biaya operasional Bupati, mungkin masih (katakanlah) sekitar Rp 200 miliar untuk proyek-proyek Pemkab (dalam hitungan paling minim). Bupati, sebagai penanggung-jawab (pj) proyek-proyek tersebut tentunya tidak gratis. Katakanlah jika yang bersangkutan dapat fee (secara legal) Rp 2 miliar per tahun (0,5 persen). Maka dalam 4 tahun, yang bersangkutan akan mendapatkan sekitar Rp 8 miliar (di luar gaji sebagai Bupati) yang diperoleh incumbent.
Jadi, kalau 1 persen saja, akan memperoleh Rp 16 miliar. Kalau 5 atau 10 persen, tentunya lebih besar dari hitungan tersebut. Belum termasuk jika didaerah tersebut ada mega proyek pembangunan dan program rekruitmen serta mutasi PNS di lingkungan Pemkab. Konon juga menghasilkan anggaran (di luar sumber APBD).
Singkatnya, tidak sulit bagi incumbent untuk mendapatkan biaya politik. Persoalannya, apakah yang bersangkutan punya keberanian untuk menggunakan anggaran tersebut ? Karena gambling atau spekulasinya tinggi. Tidak salah, jika orang menyebut sebagai ajang perjudian. Pilihannya hanya dua, jika tidak kalah, ya menang, atau sebaliknya. Inilah, yang sering menghantui incumbent..
Sambil terus nyerocos dan memaparkan 'intisari-intisari' pengalamannya itu. Saya pun cuma mengangguk-angguk bodoh sambil menguap tanda mengantuk beberapa kali. Rupanya teman saya tadi pun cukup paham, manakala obrolan itu sudah tidak lagi menarik. Dengan beberapa kalimat basa-basi khasnya obrolan yang tidak menarik , akhirnya obrolan ini pun kami akhiri dengan 'damai'.
Malamnya sebelum tidur.. saya ambil beberapa potongan artikel berita tentang sosok Joko Widodo. Seakan ingin mendinginkan kepala saya akibat hantaman cerita uang Milyaran Untuk Jadi Bupati, beberapa saat lalu.
Foto beliau saya tatap dalam-dalam, sambil berujar :
" Saya percaya dan yakin ! Panjenengan tentu tidak menghabiskan milyar-milyaran uang untuk jadi seperti sekarang ini khan pak ?"
Salam !
# Gun Javanes