Aku memiliki seorang adik, namanya Dina. Usia kami terpaut 14 tahun. Saat aku kelas 3 SMP, ibuku memberi seorang adik perempuan tepat di hari ulang tahunku yang ke -14. Awalnya, aku tidak dapat menerima kehadiran Dina. Aku sangat tidak suka dengan teriakan anak-anak. Namun, pada akhirnya aku menerima Dina sebagai adikku.
Sekarang, usia Dina telah menginjak 6 tahun. Aku sangat senang dengan sikapnya yang sering membuatku tertawa. Dina adalah jodoh kecilku. Kelak, aku akan mencari pasangan sepertinya.
“Kak Dino !! Belikan aku es krim ya? Aku mendapat nilai ulangan matematika 100 !” ucapnya menagih janji.
Aku memang berjanji padanya sejak dia masuk SD. Jika ia mendapatkan nilai 100, aku akan membelikannya es krim sebagai hadiah atas usahanya.
“Iya, nanti pas pulang kerja Kakak mampir ke Indomaret. Kamu mau es krim apa?” tanyaku menyamakan permintaannya.
“Terserah, yang penting rasa coklat.”
Sesaat setelah keluar dari kantor, aku menyempatkan diri ke Indomaret. Dia tidak menyukai es krim magnum. Katanya, rasa es krim magnum membuatnya cepat bosan karena terlalu manis. Aku pun berusaha memilih es krim yang sesuai dengan permintaannya. Banyak sekali pilihan es krim yang menarik. Kebingungan pun memenuhi seluruh pikiranku. Aku takut pilihanku tidak sesuai dengan seleranya.
Ketika aku sedang menikmati lamunanku, tiba-tiba seorang pegawai Indomaret datang menghampiriku.
“Mas, mau beli es krim ya?” suaranya menyadarkanku.
“Eh...” Aku kaget dengan kehadirannya. “Iya, Mbak. Tapi, saya bingung mau pilih yang mana,” ucapku tersenyum padanya.
“Gimana kalo magnum aja, Mas? Udah terkenal juga soal rasanya,” pegawai itu mencoba memberikan saran.
“Ah... Adikku tidak suka dengan rasanya. Katanya terlalu manis,” jawabku menentang pendapatnya.
“Oh.. Gitu... Saya juga sebenernnya nggak suka. Saya lebih suka walls shake andshake. Rasanya enak dan nggak terlalu manis. Mau dicoba, Mas?”
“Ok deh.. Saya beli yang ini aja.” Aku mengambil walls shake and shakedan segera membayarnya.
Setibaku di rumah, aku langsung memberikan es krim itu pada Dina. Aku melihat raut “sumringah” Dina ketika menerima es krim dariku. Merasa lelah atas pekerjaan hari ini, aku merehatkan diri sejenak sebelum mengikuti kelas pertama di awal semester jam 7 nanti.
Baru saja aku memejamkan mata, Dina berlari menaiki tangga menuju ke kamarku.
“Ada apa sih, Din? Kakak capek, pengen tidur. Jam 7 nanti Kakak mau kuliah? Tanyaku dengan nada sebal.
“Maaf, Kak. Aku cuma mau ngasih tau kalo es krim yang Kakak kasih tadi rasanya enak. Aku suka rasanya,” jelas Dina.
“Ya udah, sana turun.”
Setelah Dina keluar dari kamarku, aku mencoba untuk memejamkan mata lagi. Namun karena ulah Dina, kantukku seketika jadi hilang. Dengan tiba-tiba, aku mengingat sosok pegawai indomaret tadi sore.
Aku membuka rekaman dalam otakku. Mencoba mengingat seperti apakah parasnya tadi sore. Ah, untuk orang se-rapi itu, aku rasa dia tidak cocok bekerja di sana. Dia lebih cocok bekerja sebagai pegawai bank atau sejenisnya.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 18.00. Aku bergegas membersihkan diri dan berangkat kuliah. Hari ini kelas pertamaku, aku tidak boleh datang terlambat.
Ketika aku memasuki ruangan kelas, aku melihat sosok serupa dengan pegawai Indomaret tadi sore. Sepertinya dunia ini sungguh kecil. Tak ku sangka dapat bertemu bahkan satu kelas dengannya.
Aku pun tersadar, aku mengulang mata Bahasa Indonesia. Wajar saja, hanya beberapa anak yang ku kenal.
“Ngulang juga ya, Mbak?” tanyaku menyapanya.
“Nggak Mas, saya baru semester I. Eh, Mas yang tadi sore beli es krim ya?’ tanyanya mencoba memastikan ingatannya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
“Kok baru masuk kuliah? Sibuk kerja ya?” tanyaku tak ingin menyudahi percakapan.
“Saya dari desa, Mas. Harus berjuang dulu baru bisa kuliah,”
Tak butuh waktu lama, aku menangkap maksudnya. Banyak juga teman-temanku yang bernasib sama dengannya.
“Oya, nama saya Dino,” ujarku memperkenalkan diri.
“Saya Fani, Mas,” jawabnya hangat.
Kelas pertamaku berakhir dengan sangat cepat. Tak seperti biasanya, kadang aku sampai tertidur karena terlalu lelah mendengarkan dongeng dari dosen. Mungkin karena Fani, aku jadi kehilangan tabiat burukku.
Dalam perjalanan pulang, aku tak hentinya memikirkan Fani. Aku tidak tahu mengapa seperti ini. Ada rasa yang mengganjal jika aku mengingat dirinya. Rasa yang hangat jika digantikan dengan kata-kata.
Keesokan harinya, sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri membelikan Dina es krim di tempat Fani bekerja. Hanya sebagai alasan untukku bertemu dan menyapanya di hari yang berbeda.
“Loh, kok dibeliin es krim ? Aku kan nggak dapet 100, Kak?” tanya Dina bingung dengan sikapku yang biasanya pelit dalam memberi hadiah.
“Jadi, kamu nggak mau ya? Yauda, buat Kakak aja ya?” tanganku meraih es krim dari tangan Dina dan langsung menyantapnya dengan nikmat.
“Ihhhh.. aku mau, Kakak!” Dina mengejarku ke kamar.
“Nih..” Aku menyodorkan es krim yang tinggal setengah. Setelah mendapatkan es krim itu, Dina segera berlalu dari pandanganku
Aku masih merasakan es krim itu bergoyang di lidahku. Benar apa yang Fani katakan, rasanya memang pas di lidah. Sangat berbeda dengan es krim lain yang biasa ku makan.
Menyedihkannya, aku harus menunggu minggu depan untuk bisa bertemu dengan Fani di kelas Bahasa Indonesia. Tidak mungkin jika aku setiap hari ke Indomaret hanya untuk mengobrol dengannya.
Hari yang kutunggu pun datang setelah sekian lama menanti. Aku memanfaatkan kesempatan yang ada. Tak peduli dengan dosen yang sedang menjelaskan materi di depan kelas. Aku hanya fokus pada Fani dan meminya nomor handphonenya.
“Ini saya, Dino. Tolong di save ya?” aku mengirimkan sms ke nomor Fani. Aku fikir Fani adalah perempuan yang setiap saat berinteraksi dengan androidnya. Namun, dugaanku salah. Ia membalas pesanku satu jam kemudian.
“Sorry baru balas. Tadi saya sedang ada kegiatan. Ok.”
Saat akhir pekan, aku memberanikan diri untuk mengajaknya pergi bersama. Hatiku sangat bahagia karena ia mau menerima ajakannya.
Di waktu kebersamaan kami, ia bertanya banyak hal kepadaku. Salah satunya mengapa aku mengambil kuliah ekstensi sedangkan keadaan orangtuaku sangat mampu membiayaiku lahir dan batin.
“Aku hanya ingin mandiri. Kelak, aku akan hidup bersama dengan belahan jiwaku. Aku ingin jodohku nanti tidak menyesal memilih hidup bersamaku,” ucapku menjelaskan alasannya.
“Wah, hebat dong. Di kampung saya banyak anak pemilik sawah yang kuliah ke luar hanya untuk bergaya dan memamerkan harta orang tua.”
“Ya itu terserah mereka. Untunglah saya tidak seperti itu.”
Kami pun tertawa bersama. Menanggapi banyak perbedaan yang terjadi di lingkungan.
Aku melihat parasnya yang begitu menggetarkan hati. Karena tidak kuat berdekatan dengannya, aku memintanya menunggu sejenak. Aku pergi membeli es krim shake and shake. Es krim favorit kami berdua.
Shake and shake yang menuntun kami berdua. Terutama adikku, Dina. Jika Dina tidak meminta es krim, aku mungkin tidak akan menemukan malaikat es krimku.
Beberapa bulan kemudian, setelah banyak moment yang kami ciptakan bersama, aku semakin mantap bahwa ia juga memiliki rasa yang sama denganku. Aku tidak ingin melakukan pendekatan berlama-lama. Sudah cukup bagiku untuk mengenal dia selama beberapa bulan ini.
Tiba saatnya aku menyatakan perasaan padanya. Aku sudah menghapal apa saja yang harus kukatakan. Namun, jawabannya tidak sesuai dengan harapanku. Ternyata dia sudah dijodohkan oleh kedua orangtuanya sebelum ia merantau.
“Saya juga punya rasa yang sama. Tapi, saya sudah dijodohkan oleh orangtua saya sebelum saya merantau. Maaf, waktu lebih kejam dari apa yang kita bayangkan.”
Mendengar ucapannya, aku tidak mampu mengucapkan suatu kata. Hanya menatapnya sejurus, kebatinanku memintanya mengubah apa yang baru saja ia ucapkan.
“Kita tetap bisa jadi teman kan?” tanya lagi yang membuatku semakin takut kehilangannya.
“Saya janji, hubungan kita tetap akan seperti ini,” Fani berjanji dan memegang kedua tanganku dengan penuh kehangatan.
“Iya,” jawabku reflek seketika saat ia memegang tanganku. Entah mengapa aku sangat percaya padanya. Seandainya aku yang lebih dulu mengenalnya. Seandainya aku yang lebih dulu memilikinya. Bukan orang lain.
Fani adalah perempuan yang luar biasa. Dia mampu menerima rasa sakit agar bisa menjaga perasaan orangtuanya. Aku sungguh bangga bisa mengenal Fani di hidupku. Walaupun bukan sebagai separuh hatinya.
Fani menepati janjinya, kami tetap bisa jalan dan menikmati hidup bersama dengan tawa dan canda. Sebagai teman, jika ia bahagia, aku pun turut bahagia. Aku akan mendoakannya untuk terus bahagia apapun alasannya.
Aku akan selalu mengingat shake and shake dan cinta pertamaku, Fani Indriana