Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Penerbangan Paling Pagi (Sequel dari Dialog dengan Nurani)

28 Juni 2010   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 138 0
Hari senantiasa berganti. Namun, aku hanya mampu bermimpi tentang Grivia. Mengagumi mahakarya paling indah itu secara diam-diam. Tak pernah aku ungkapkan rasa itu, secara verbal yang di pahami kebanyakan orang. Hanya perbuatan saja aku tunjukkan padanya. Tapi, kukira dia tak paham akan itu. Masih saja dia bercerita tentang kecintaannya pada seseorang. Rasa sayangnya pada orang yang sampai sekarang aku belum pernah tahu, apakah orang yang dia ceritakan itu benar-benar ada di atas bumi ini.

Aku di bayang-bayangi ketakutan. Takut akan rasa yang terus berkembang di hatiku. Antara kepemilikan seorang sahabat dan rasa ingin memiliknya.jika aku memilikinya, mungkin suatu saat kan berakhir. Jika aku tak memiliknya, pasti berakhir pula. Sebab, suatu saat dia pasti akan memiliki seseorang. Namun, dari masa lalu yang pernah aku tahu, sedikit kemungkinan dia akan memiliki seorang laki-laki. Hal itu pula yang masih mengganjal di pikiranku. Mungkinkah dia akan menerimaku sebagai seorang lelaki utuh menjadi pemiliknya.

Tak aku pungkiri, entah membandingkan atau menyamakan Grivia dengan Vania. Perempuan yang pernah menghiasi hari-hariku. Banyak kesamaan di antara mereka berdua. Namun ada pula kelebihan masing-masing. Perbedaan yang paling jauh adalah Vanya sekarang sudah memasuki pintu orang lain.

Suatu Pagi, aku pernah terkejut dengan ketukan lembut di pintu rumahku. Aku buka dan tak ada kata yang dapat ku ucap. Vania, berdiri di depan pintuku menggandeng seorang anak kecil.

“Selamat Pagi... tak biasanya sepagi ini kau sudah beranjak dari peraduanmu” sapa Perempuan di depan Pintuku ini. Sedang si anak kecil itu, memandangku seakan bertanya “siapa dia, Bunda?”
“Vay... benarkah aku sudah beranjak dari tempat tidurku? Atau sekarang aku sedang bermimpi yang cukup indah?” kataku.
“Tidak, aku sekarang dbenar-benar berdiri di hadapanmu.” Jawab Vanya.

Mereka berdua masuk. Duduk di sofa, dimana biasanya aku merayu Vanya. Namun posisi sekarang sudah berubah. Aku tak duduk di sampingnya. Di samping Vanya duduk anak itu. Aku duduk di seberang, berbatas meja. Anak itu tak henti memandangku. Aku gugup, padahal hanya seorang anak kecil yang memandangku.

Perasaanku berkecamuk. Inikah anak vania, setelah dia pergi dariku, sekarang telah menikah dan mempunyai seorang anak. “ini buah Hatimu?” tanyaku
“Iya... inilah penghiburku, pengawalku.” Jawab Vanya sembari tersenyum. Senyuman Vanya serasa merobek jantungku.

“Ahh.. hampit aku lupa, ingin minum apa kau? Serta si kecil ini inginaku buatkan apa untuknya?” aku menawarkan minuman, sembari aku beranjak untuk menyembunyikan sedikit kesedihan yang aku derita.
“tak usahlah kau repot. Bukankah biasanya setiap pagi kau membuat Teh hangat? Jika boleh, aku ingin merasakan Teh hangat buatanmu.” Jawabnya.
“dan si Kecil?” tanyaku lagi
“Masih sering kau menyimpan susu? Bolehlah dia kau buatkan dia di tempat kecil.” Jawab vanya lagi dengan sunggingan senyum. Semakin dia tersenyum, semakin robek jantungku.

Aku ke belakang mencari Teh hangat yang aku seduh setiap bangun tidur. Aku mencari susu yang sering aku pakai untuk campuran kopi. Aku berpikir, mungkinkah cocok untuk Anak kecil. Sebaiknya tak aku buatkan susu. Teh saja, yang sudah jelas tak memandang umur peminumnya.

“Dari mana kau, sepagi ini sudah berada di kotaku?” aku bertanya pada Vanya.
“Hanya ingin ke tempatmu ini. Kebetulan, aku ingin mengajak Andina ke tempat bermain yang sering aku ceritakan padanya setiap menjelang tidur. Tempat bermain yang sering aku impikan dahulu, jika aku memiliki seorang anak.” Jawab Vanya. Aku hanya bisa tersenyum.
Sayatan kata-kata vanya seakan menguliti seluruh dagingku.

Tempat bermain itu, merupakan impianku dengan Vanya jika suatu saat aku dan dia memiliki buah Hati. Namun, semuanya sudah terjadi. Vanya yang lebih dahulu akan ke sana dengan anaknya. Dengan Andina, sebuah nama yang aku buat untuk anakku. Namun, Vanya juga yang terlebih dahulu memakainya.

“Dimana suamimu?” tanyaku.
“Dia masih di kota dimana aku tinggal.” Jawabnya
“kau kesini sendiri? Hanya bersama si kecil?”
“benar... dengan penerbangan paling pagi hari ini” Vanya menjawab sembari memandang anak kecil itu, yang terlalu sibuk meniup Teh hangat yang aku hidangkan untuk dia.

“Bunda... teh ini masih panas, Minta pakai es boleh tidak?” tiba-tiba celoteh anak ini membuat kami berdua terstawa.
“jangan sayang, tak baik pagi-pagi minum es. Tunggulah, sebentar lagi pasti panasnya berangsur hilang.” Terang vanya pada Andina.

“Belum juga engkau beristri. Adakah yang engkau nantikan?” tanya Vanya padaku. Entah kenapa, pagi ini seluruh kata-kata Vanya bagaikan anak panah yang bertubi-tubi meremukkan ragaku. “Belum, aku masih ingin mendapatkan seluruh impianku.” Jawabku.

“Bukankah Impianmu bisa juga kau raih, meski kau beristri. Aku kira kebebasanmu tak akan terkekekang. Yang aku pernah tahu, kau paling pintar menciptakan kebebasanmu sendiri. Tidak bergantung pada kebebasan yang diberikan.” Vanya berbicara sembari mengambil cawan anaknya untuk dia tiup agar lekas dingin.
“Ahh... belum ada perempuan yang mau padaku.” Jawabku.
“mereka yang tak mau, atau engkau yang terlalu sombong?”
“belum aku temui perempuan yang seperti aku harapakan.” Jawabku
“kukira tak ada yang sempurna di muka bumi ini.”
“aku tak mencari kesempurnaan. Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”
“tak kau sadarikah, jika waktu ini terlalu cepat untuk berlalu?” tanya Vanya
“Aku tahu itu, ah sudahlah... jangan kau ajak lagi aku bertengakar. Aku merindu wajahmu. Jadi biarlah aku mengaguminya meski hanya sesaat, sebelum kau pergi lagi.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Sedapat mungkin aku tak membuka kenangan bersamanya. Setiap ada kata atau suatu tanda yang akan mengembalikan masa lalu itu, aku pasti mencari kata-kata lain yang dapat merubah suasana.

Hari menjelang siang. Vanya mengajakku untuk mengantar anaknya ke tempat bermain yang dimaksud. Aku agak canggung. Sebab, tempat itu merupakan sebuah kenangan tentang masa depan. Yang pernah aku impikan. Dan sekarang aku harus kesana dengan sosok yang menjadi tokoh dalam masa depan tadi. Namun, aku harus menghadapi kenyyataan ini. Sebenarnya bisa saja aku beralasan untuk ke kantor pagi itu. Namun tak juga keluar kata-kata itu. Yang aku pikirkan, Tak boleh aku menjadi trauma.

Cepat-cepat aku mandi. Di dalam kamar mandi, aku guyur tubuhku sebasah mungkin, se kuyup mungkin. Sembari masih tak percaya dengan apa yang terjadi di luar pintu kamar mandi ini. Serasa aku tak ingin keluar dari kamar mandi ini. Aku habiskan air dalam bak mandi. Semisal aku bisa tenggelam dalam Bak mandi ini, mungkin aku sudah menenggelamkan diri.

Tak kalah terkejut, ketika aku keluar dari kamar mandi. Di tempat tidurku telah siap pakaianku. Lengkap dengan celana, sepatu, kaos kaki. Tak lupa parfum yang biasa aku pakai sudah berada di situ.

“maaf, jika aku lancang membuka alamarimu, serta memilihkan pakaian untukmu. Sekedar mempercepat waktu yang biasanya engkau buang untuk menyiapkan segala keperluanmu ketika pagi hari.” Vanya sudah berdiri di depan pintu.
“ohh... terima kasih. Tak apalah. Dengan begini mungkin kita bisa lebih cepat untuk mengantar Buah hatimu ke taman Bermain.” Jawabku.
Vanya pergi ke depan, Pintu aku tutp. Dan aku berganti pakaian.
Parfum hanya aku semprot ke bagian badan tertentu.
Aku tak ke kantor. Jadi, seperlunya sajalah aku memakainya.

“Masih dengan aroma yang sama.” Celetuk vanya. Aku hanya tersenyum. Aku ambil kendaraanku. Dan mempersilahkan Vanya Masuk.
“Kau sudah mendapatkan kendaraan impianmu. Dimana kendaraanmu yang dahulu?” tanya Vanya.
“Ada di garasi”
“Bukan, kendaraan roda empat yang aku maksud. Jikalau roda dua itu, aku yakin kau tak akan mau berpisah dengannya”
“Aku jual. Ada teman yang suka itu, karena itu aku jual padanya. Aku tambah dengan sedikit uang dari tabunganku, dapatlah aku kendaraan ini.” Aku berbohong padanya.
Tak aku sebut nama Grivia, ketika bagaimana aku mendapat kendaraan ini.
“Atau kau ingin kita naik itu roda dua itu saja?” tanyaku.
“Tidaklah, kasihan Putraku. Dia tak terbiasa dengan angin yang kencang menerpa tubuhnya” jawabnya. ”Aku bangga Padamu, kau mampu berdiri kokoh meski orang yang terkasih meninggalkanmu. Tidak seperti aku.” Ujar Vania.
Tenggorokanku tercekat.
Serasa nafasku berhenti.
Ingin aku marah, tapi untuk apa. Aku ingin berteriak. Namun, di Mobil ini aku tak sendiri.
“Terlebih lagi aku, begitu besar banggaku padamu. Telah mendapatkan yang kau inginkan, memiliki suami yang mengerti engkau, Buah hati yang selalu mengawalmu” kataku.

Di taman bermain ini, Vania mengajakku untuk berputar-putar dengan anaknya. Sebenarnya aku canggung, namun lama-lama aku terbiasa. Layaknya seorang ayah yang mengajak bermain anaknya. Segala macam permainan, Andina mencobanya. Bundanya-pun mengarahkan seperti ketika aku impikan dulu kepada Vanya.

Berbaur dengan keluarga yang lain, menjadikan aku lupa siapa Vanya dan siapa Andina sekarang ini. Aku menikmati suasana pagi ini. Melihat kelucuan Andina membuatku terpingkal juga. Apalagi Bundanya. Pagi ini dia terlihat bahagia. Seperti dajhulu ketika awal-awal aku mengisi hari bersamanya.

Di Bawah Pohon yang cukup rindang, kami beristirahat. Sembari menikmati makanan yang kami beli ketika ada pedagang lewat. Ada letih, namun kegembiraan ini mampu menyembuyikan rasa letih tadi.

“Kau menginap dimana?” tanyaku pada Vanya.
“aku nanti pulang. Dengan pesawat siang ini.” Jawab vania. Vania sepanjang pagi ini, selalu meberiku kejutan. Padahal dia perempuan yang tak suka dengan kejutan-kejutan. Meski dahulu, aku selalu berusaha memberinya kejutan. Sepagi ini dia membalasku dengan kejutan-kejutan yang tak aku duga.

“Pualng ke suamimu, maksudmu?” aku tak percaya.
“Begitulah... aku punya suami yang harus aku rawat, yang harus aku temani.”

“keanapa secepat ini?” tanyaku lagi.
“Demi Andina. Dia ingin melihat negeri Impian yang sering aku ceritakan sebelum dia berangkat bermimpi setiap malam.” Jawab Vanya. Pengorbanan seorang Ibu, tak terbatas untuk anaknya. Harus menyeberang pulau-pun, dia lakukan. Dan juga tak boleh luapa kewajiban atas suaminya. Aku kira, terkadang perempuan lebih hebat daripada pria. Seperti halnya Vania, seorang Perempuan Perkasa.

Menjelang siang, Vania mengajak Andina untuk membersihkan diri. Pertanda waktu untuk pulang tiba. Sebenarnya Andina tak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku dan Vania berjanji, suatu saat akan mengajaknya ke sini lagi.

Tepat matahari di atas kepala, aku sudah berada di bandara untuk mengantar Vania dan anaknya. Kami datang agak awal. Menikmati makan siang di sudut cafe ruang tunggu bandara ini. Melihat Andina, rasanya aku tak ingin berpisah. Kelucuannya, kepolosannya, rasa ingin tahunya, membuat aku untuk senantiasa menggodanya.

“Kau Lihat Andina!” seru Vania kepadaku.
“Ada apa dngannya?” tanyaku.
“orang tak percaya jika dia baru berusia baru beberpa Tahun” kata vania
“benarkah?” aku kembali heran.

“mungkin dia meniru ayahnya. Pintar, kadang terlalu kritis. Lihat saja wajahnya! Seperti itu pula wajah ayahnya.” Bilang Vania.
Aku amat-amati wajah anak ini.

Sembari tersenyum aku bilang pada Vania “Pasti Yahanya orang yang pintar.
Tak juga cakep. Namun, kukira ayahnya orang yang baik.”

“sekali lagi, kau lihat guratan di wajahnya. Kau singkirkan semua kemiripan denganku. Cermatilah!” Vania memaksaku untuk lebih memandang Wajah anak ini.

Seketika aku tersentak. Aku tak dapat bergerak, maupun berkata. Badanku kaku.

“kenapa kau diam? Itulah Andina.” Kata Vania.
Aku masih tak dapat berkata. Mataku tak berkdip melihat wajah anak ini.
Serasa aku sedang bercermin ketika masa kecil dulu.
Anak ini persis wajahnya dngan fotoku ketika aku belum memasuki bangku sekolah.

“Dia Andina. Andinaku.. Andinamu pula...” kata Vania. “Dia buah hatiku, yang sebenarnya buah hatimu pula, buah kasih sayang kita. Kau dan aku.” Vania meneruskan kata. Katanya denga lembut namun penuh ketegasan.

“bagaimana bisa?” tanyaku, setelah beberapa saat hanya terpaku.

“Aku menanti kepastian darimu terlalu lama. Sedang seseorang disana mengajakku mngarungi samudera. Dia sudah membuat bahtera untukku juga.
Aku pergi darimu, sengaja tanpa pamit. Agar aku tak melihatmu sakit.
Aku tak sanggup melihatmu sakit.
Aku pergi membawa sejuta keindahan bersamammu.
Dan tak kukira, aku juga membawa Andinamu dalam diriku.” Jelas Vanya.
Terkejutku kali ini lebih dashyat dari pada kejutan-kejutan yang lain hinga siang ini.

“bagaimana dengan Suamimu?” tanyaku

“Dia tahu aku pernah bahagia bersamamu, namun tak boleh dia tahu siapa Andina. Biarlah aku dan engakau saja yang mengetahui. Andina sekalipun tak boleh tahu.” Jelas vania.
Anak kecil itu masih sibuk dengan krim yang dia makan, hingga bibirnya berlepotan susu.

Vania memegang tanganku. Ada rasa hangat menyebar ke tubuhku. Atau mungkin tubuhku yang terlalu dingin.
“Aku selamanya mencintaimu. Namun, kau harus menatap ke depan!” kata Vania.
Mataku tak lepas dari dua makhluk ini. Manusia yang sekarang aku ketahui, bahwa mereka adalah orang yang sangat aku sayang.

“Aku sekarang sedang mengandung adik Andina, sudah beberapa minggu dia bersemanyam di Tubuhku.” Kata Vania lagi
“Benarkah? Dengan suamimu pastinya.” Tanyaku kembali khawatir
“benar.. kali ini dengan suamiku. Aku ingin menjadi istri yang benar-benar mengabdi pada suamiku.” Jawab Vania.

“Aku masih mencintai engaku Vai...” kataku
“Aku tahu itu, namun cukuplah Andina yang membawa Cintamu padaku. Dia kebahagiaanku, pengawalku, cintaku, segalanya untukku.” Ujar Vania.

Tiba-tiba pengeras suara menginformasikan pesawat yang akan di tumpangi Vania telah siap.
Berat rasanya aku melepas mereka. Sebab aku tahu, tak mungkin lagi aku bisa memandang wajah mereka lagi. “Aku titip Andina-ku padamu, jaga dia. Dia jagoanku!” kataku pada Vania, dan di balas dengan senyumannya.

“Andina... Jaga Bundamu baik-baiknya! Kalau ada yang jahat sama Bunda, pukul saja mereka. Dan kamu jangan nakal ya, jagoan!” kataku pada Andina, anakku.
“tapi Bunda bilang, kita tidak boleh memukul orang. Harus sabar. Tidak boleh jahat sama orang. Ya kan Bunda?.” Jawab anakku itu. Aku tersenyum. Pastilah ini ajaranku. Ajaran yang telah aku tularkan ppada Bundanya.

Aku masih melihat mereka berdua berjalan di lorong bandara ini. Anggun Bundanya, dan lucunya anakku, mungkin ini kal terakhir aku dapat melihatnya. Sampai pesawat lepas landas-pun aku masih di bandara. Hingga pesawat itu benar-benar hilang di balik awan.

Aku menghampiri kendaraan-ku. Keluar dari tempat parkir. Aku mendapat secarik kertas bergambar coretan tangan. Tergambar seorang anak kecil di tengah ayah dan Bundanya. Tertulis “Andina sayang Ayah dan Bunda”. Meledaklah isi jantungku. Aku Buang tulisan itu. Aku bunyikan irama music di dalam mobil ini keras-keras. Memasuki jalan sepi, aku pacu kendaraan ini hingga mendekati titik maksimal. Matahari terlalu menyengat nurani. Tak bisa kubendung lagi, aku berteriak, dan pecahlah tangisku....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun