Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Tatanan Nilai

24 September 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 285 1
Sedemokratis apapun sebuah sistem jika para politisi tak dibekali pendidikan nilai  dan karakter yang kuat, keruntuhan sebuah sistem menjadi ancaman yang nyata.

Kesadaran tentang nilai-nilai itulah yang pernah ditulis Plato dalam  Republic (buku III). Meski tidak menyepakati sistem demokrasi yang rawan dimanipulasi oleh kekuatan dominan dan anarkisme, ia beranggapan bahwa prinsip-prinsip teologi adalah hal dasar yang perlu dibicarakan dalam sistem pemerintahan manapun.

Prinsip Teologi

Maksud dari prinsip-prinsip teologi adalah nilai-nilai yang perlu diturunkan kepada generasi muda.Sebelum diceritakan dan diteruskan melalui mitos sebagai satu-satunya medium penyampaian keutamaan-keutamaan moral saat itu, basis moral tersebut perlu diuji dalam suatu diskursus agar tidak tumpang tindih sehingga menyesatkan generasi muda.

Tentang keutamaan seorang politisi adalah contohnya. Dalam kurun waktu abad ke V dan IV SM, politik dianggap kotor. Generasi muda sudah dirasuki pikiran bahwa kalau mau menjadi seorang politisi, jangan berlaku jujur. Seorang politisi yang jujur akan menderita. Ia tidak kaya dan hanya mempunyai sedikit teman. Sebaliknya jika bisa licik seperti ular, seorang politisi bisa menjadi kaya, hidup berfoya-foya, bahkan lingkungan pergaulannya luas.

Sebagaimana ditulis Plato, Sokrates menyangsikan kenyataan itu dan berharap mitos-mitos menekankan bahwa keutamaan seorang pemimpin adalah pelayanan kepada masyarakat. Ditekankan pula dalam mitos tersebut bahwa begitulah kehendak para dewa.

Tatanan Nilai

Untuk memahami kekacauan tatanan moral  para politisi itu, kita perlu paham tiga kategori nilai berdasarkan tingkat kepuasaannya yang diulas Plato dalam Arete, rahasia hidup sukses.

Paling bawah adalah kepuasaan makan-minum, seks, dan uang (epithumia). Kenikmatannya hanya sesaat. Harga diri dan kehormatan adalah tingkat kedua (thumos). Tingkat teratas adalah pengetahuan moral (logistikon).

Manusia berjalan di antara tarikan-tarikan nafsu-nafsu tersebut. Plato menyebut manusia sebagai makhluk “antara” karena  ia masih menentukan diri apakah ia mengikuti nafsu epithumia dan thumos yang diidentikkan dengan nafsu kebinatangan atau dorongan untuk mencapai pengetahuan sejati yang dimiliki para dewa.

Manusia tidak bisa menghindar dari tarikan nafsu epithumia dan thumos. Inilah dorongan dasar. Namun manusia tetap dapat membebaskan diri melalui pemurnian pikiran agar sejalan dengan hasrat jiwa untuk mendekati kehidupan dewa-dewa sebagai tujuan tertinggi.

Tentu saja bagi Plato, seorang pemimpin punya kualifikasi yang tinggi. Ia bukan orang yang rakus akan makan dan minum, seks, dan uang. Bukan pula seorang yang merebut jabatan publik untuk mendapatkan apresiasi dari masyarakat . Sebaliknya politisi adalah pencinta nilai-nilai keadilan, kebaikan, keberanian, dan kebijaksanaan.

Seorang pemimpin harus cerdas, tidak saja secara intelektual tetapi juga emosional dan spiritual. Menurut Plato, filsuf adalah sosok yang tepat untuk posisi tersebut. Tentu saja, gambaran filsuf  saat itu berbeda dari zaman selanjutnya. Filsuf  ialah figur yang telah ditempa melalui pendidikan berdisiplin tinggi dan khusus. Mereka tinggal di tengah masyarakat, mampu melakoni hidup tanpa beristri, dan sejumlah larangan-larangan yang keras lainnya. Salah satu yang digambarkan cukup ekstrem misalnya, demi menjaga kebugaran raga, ketika berkemah di tepi pantai, seorang filsuf  dilarang makan ikan.

Singkat kata, tokoh filsuf adalah gambaran pribadi yang mampu memahami tatanan nilai dan terdorong untuk selalu terarah kepada nilai tertinggi, yakni memperoleh pengetahuan-pengetahuan sejati tanpa tunduk pada nafsu epithumia dan thumos. Melayani rakyat adalah tujuan utamanya.

Ancaman Demokrasi

Membandingkan kenyataan sekarang, ada situasi kekacauan tatanan moral. Para politisi belum sepenuhnya terbebas dari belenggu epithumia dan thumos. Semangat mencari kekuasaan demi kehormatan masih kental. Uang dan gratifikasi seks sangat familiar di kalangan elite politik.

Cita-cita demokrasi masih jauh dari harapan. Sejatinya demokrasi  menurut Aristoteles adalah ruang diskursus tentang keutamaan-keutamaan moral. Sebab sebagai makluk rasional, manusia tidak saja ingin hidup belaka yakni hanya pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan dan minum, tetapi juga ingin hidup bahagia. Kebahagiaan hanya tercapai melalui diskusi basis moral tersebut. Hal itu hanya mungkin ketika ruang politik steril dari pengaruh-pengaruh uang dan popularitas.

Dipenuhi para politisi  yang minim kesadaran nilai dan berkarakter, demokrasi saat ini masih terancam. Pemimpin memanfaatkan rakyat yang masih mudah dibuai oleh uang. Popularitas seorang artis dalam kampanye mampu merangsang pilihan-pilihan yang irasional dalam pemilihan umum.

Tanpa memahami tatanan nilai, tentunya kita bisa jatuh ke dalam hidup “belaka” seperti para pengungsi, tawanan perang, dan pencari suaka. Inilah yang disebut Carl Schmitt, filsuf asal Jerman, sebagai keadaan darurat.

Cara-cara seperti pengutamaan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai kehidupan dan karakter, pertimbangan rekam jejak seorang calon pemimpin dengan cermat, konsolidasi masyarakat sipil melawan politik uang dan kepentingan oligarkhi adalah usaha yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan demokrasi yang sedang “sakit” saat ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun