http://www.greenaceh.or.id/2012/07/18/dr-eli-nur-nirmalasari-kebijakan-yang-salah-picu-land-degradation/ . Isu perubahan iklim kini telah menjadi isu global dan mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara di dunia ini. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global telah berdampak buruk pada kehidupan manusia di muka bumi ini. Semakin besar Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikeluarkan ke udara melalui berbagai aktivitas manusia, maka semakin terancam kehidupan manusia di atas bumi ini. Banyak upaya mitigasi dan adaptasi yang telah dilakukan di tingkat global dan lokal. Rio+20 merupakan konferensi tingkat tinggi dunia yang juga membahas masalah ini. Meskipun demikian, isu perubahan iklim ini terkait erat dengan bagaimana setiap negara menyikapinya. Hal ini terkait dengan pola produksi dan konsumsi yang ada di dalam masyarakat tersebut. Negara-negara industri maju selama ini menjadi penyumbang emisi terbesar dari kegiatan industri mereka. Sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia, sumbangan emisi terbesar justru terjadi dari kegiatan pembukaan lahan dan kehutanan. Bagaimana dinamika isu perubahan iklim saat ini dan apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia?Â
Greenacehnews mewawancaraiÂ
Eli Nur Nirmalasari, Ph.D, seorang expert yang terlibat aktif dalam isu perubahan iklim di Indonesia. Berikut petikan wawancara dengan doktor lulusan Hokkaido University Jepang ini:
Apa pandangan Anda tentang isu perubahan iklim di Indonesia? Semakin menebalnya emisi CO2 di bumi, mengakibatkan suhu bumi meningkat yang membawa dampak berupa perubahan iklim. Perubahan iklim telah menjadi isu yang hangat di semua kalangan, mulai dari kalangan umum, akademisi, pemerintahan, swasta, dan ilmuwan. Terlebih, pada pertemuan Puncak G-20 di Pittsburgh tanggal 25 September 2002, Presiden SBY menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, dan penurunan tersebut ditingkatkan menjadi 41% apabila Indonesia menerima bantuan asing. Sejak saat itu, komitmen tersebut menjadi bahan perhatian bagi banyak kalangan, baik dari pemerintahan maupun swasta, dari berbagai latar belakang dan berbagai disiplin ilmu. Meskipun demikian, pembahasan yang mendalam berdasarkan sains terkait dengan pemahaman dan persepsi terhadap perubahan iklim, masih sangat kurang. Dari banyak kalangan tersebut, masing-masing cenderung memiliki persepsi sendiri mengenai konteks penurunan emisi GRK.
Melihat kebijakan pemerintah SBY, sanggupkan pemerintah memenuhi target penurunan emisi 26%? Menurut data dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) (2011), bahwa lahan gambut di dunia adalah penyumbang emisi terbesar, yakni sebesar 41,4% dari total emisi global tahun 2005, sedangkan Pemanfaatan Lahan dan Perubahan Pemanfaatan Lahan (LULUCF) merupakan penyumbang emisi terbesar kedua, yakni 37% dari total emisi global. Indonesia memiliki luasan lahan gambut sebesar 50% dari total luasan lahan gambut yang ada di negara tropis, dan di Indonesia sendiri, dari total emisi yang berasal dari semua sektor, 38% adalah berasal dari lahan gambut. Apabila dari banyak sektor yang ada, pemerintah juga dapat menseriusi pengelolaan lahan gambut yang tepat dengan memberlakukan kebijakan yang handal berdasar sains, maka upaya tersebut akan dapat mendukung penurunan emisi GRK (dari lahan gambut) dalam usaha pencapaian penurunan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020.
Ada yang mengatakan bahwa pemerintah tidak serius dengan strategi REDD, apa pendapat Anda. Untuk menetapkan strategi REDD+, perlu analisis yang tepat yang didasarkan pada data-data maupun fakta-fakta sejarah yang ada. Berdasarkan pengalaman, bahwa terjadinya ‘Deforestation’ dan ‘Land degradation’ dipicu oleh praktik politik dan ekonomi, seperti korupsi dan pengelolaan yang tidak benar/tidak baik. Selain itu, banyak sekali ditemui laporan-laporan mengenai pelanggaran hak-hak masyarakat hutan ataupun masyarakat lokal disekitar hutan, yang tentunya akan menghambat keberhasilan REDD+. Penetapan strategi REDD+ harus melibatkan banyak faktor yang kompleks. Tetapi yang harus diingat adalah, bahwa kemauan politik harus ditujukan kepada pengurangan ‘Deforestation’ dan ‘Land degradation’, dan para pembuat kebijakan harus belajar dari sejarah, bahwa kebijakan tanpa didasarkan pada ‘sains’ adalah ‘merusak’.
Banyak yang mengatakan bahwa Kalimantan Tengah sebagai percontohan REDD+ dibawai LoI Norway-Indonesia kurang berhasil. Ukuran mengenai ‘keberhasilan’ atau ‘ketidakberhasilan’ itu harus didasarkan pada ‘indikator keberhasilan’ yang jelas. Jika ‘indikator keberhasilan’ sudah ditetapkan, maka kita akan bisa menilai bahwa suatu usaha itu sudah dapat dikatakan berhasil atau tidak, bahwa suatu proses itu sudah berjalan pada ‘track’ yang benar menuju keberhasilan atau belum. Ada banyak sekali indikator yang dapat digunakan sebagai pengukur tingkat keberhasilan kegiatan terkait REDD+ di Kalimantan Tengah, misalnya indikator pengurangan emisi karbon, indikator pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, indikator pulihnya keseimbangan ekosistem di lahan gambut yang terdegradasi, indikator berubahnya paradigma dan budaya kerja di seluruh tingkat pemangku kepentingan menuju kesuksesan REDD+ di Kalimantan Tengah, indikator adanya kebijakan yang handal yang dapat diterapkan di Kalimantan Tengah terkait dengan usaha pengurangan emisi, indikator tersedianya database yang handal terkait dengan penelitian mengenai REDD, indikator sukses dan lancarnya transfer teknologi terkait REDD+, dan lain-lain.
Apa yang kira-kira perlu dibenahi oleh pemerintah indonesia dalam penanganan perubahan iklim ini. Untuk menangani perubahan iklim di Indonesia, pemerintah pusat perlu untuk mendukung inisiatif pemerintah daerah dalam usaha untuk menurunkan emisi GRK melalui pengurangan deforestasi dan degradasi. Selain itu, pemerintah dan para pengambil kebijakan harus memberlakukan kebijakan yang tepat dan handal berdasarkan sains terkait usaha pengurangan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. (
Greenacehnews, 2012)
KEMBALI KE ARTIKEL