Ciiiyeeehh, kali ini saya akan bercerita tentang sebuah perasaan yang pernah saya tolak. Ya, saya benar-benar menolaknya habis-habissan!! Hehehehe ....
Wah, kenapa jadi tengsin begini ya, (nyengir dulu sambil garuk-garuk pipi) umm ... karena ini tentang perasaan yang di dalamnya ada sebuah cinta, jadi ... (ciyyeeehh nyengir lagi) saya akan mulai bercerita.
Pada jaman dahulu kala (ehemm! Pembukaannya ambil gaya cerita kuno,biar kesan klasiknya lebih terasa) saya pernah membencinya, sinis padanya bahkan sedikit pun tidak ingin bersamanya, tapi semua itu berubah seiring waktu saat saya memutuskan untuk mengenalnya. Weeeeww ....
Sungguh tidak pernah terpikir kalau pada akhirnya saya menerimanya untuk mendampingi hidup saya. Darinya saya mendapatkan banyak pelajaran bagaimana cara menulis lalu menata kalimat yang baik dan benar. Menyulam satu persatu kata agar tiap orang yang sudi membaca cerita saya bisa mengerti.
Karena tiap kali saya membuat cerita atau artikel, saya tidak ingin orang yang membacanya malah kebingungan mencerna berbagai kalimat yang telah saya buat. Sebisa mungkin dengan seluruh kekuatan dan keringat, saya membahasakannya dengan tepat. Weeiittsss ... seperti siap peraang ajah!
Menciptakan artikel atau cerita dengan Bahasa intelek atau bergaya tingkat tinggi, memang kesannya kerrreeenn dan cerdas, tapi kalau pembacanya harus putar otak, bisa jadi sebelum cerita selesai, yang membaca malah kabur!! Wadoohhh, saya bisa patah hati kalau begitu hehehe ....
Jadi, dia adalah salah satu bagian dari perjalanan karir saya untuk menjadi seorang penulis. Dia adalah tumpukan dari berpuluh-puluh kertas dan beratus-ratus halaman yang selalu bisa memberikan saya pelajaran bagaimana seharusnya menulis dengan baik.
Dia adalah apa yang selama berabad-abad ini manusia kenal sebagai sebutan buku. Heiii ... ini cinta antara aku dan buku, bukan cinta antara aku dan pria tampan.
Khususnya untuk buku novel. Di jaman itu, saya benar-benar tidak ingin membacanya, padahal dari berbagai buku novel yang dibaca, seorang penulis bisa mendapatkan ilmu bagaimana seharusnya merangkai kata menjadi kalimat.
Tiap kali, saya menemukan tips dan saran dari beberapa penulis dunia, mereka selalu mengatakan, kalau ingin menulis dan menghasilkan karya, salah satu caranya adalah dengan membaca semua buku dari semua penulis sukses.
Menyimak dan mempelajari kalimat-kalimat yang mereka tulis hingga mampu membuat tiap pembaca terkagum-kagum tanpa harus menjiplak ciri khas penulis aslinya.
Sayangnya saat itu, saya masih berkeras untuk tidak membaca buku khusus novel, walaupun tahu kalau dengan membacanya ilmu menulis saya menjadi lebih kaya. Itu karena, saya sangat tidak suka dengan buku-buku yang isi ceritanya tidak memiliki gambar. Tiap kali melihat buku novel, saya akan sinis menatapnya dan berpikir.
"Hei, kau bukan sesuatu yang kuinginkan."
Untuk menulis cerita pendek pun, saya banyak belajar dari potongan-potongan cerpen di majalah, karena di sana tiap cerita dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi.
Namun, semakin tingginya jam terbang dalam menulis, saya mulai penasaran dan ingin tahu, apa sih "bagusnya" sebuah novel sampai banyak penulis ingin membuatnya. (kalau dalam adegannya, mata saya muter ke kiri dan ke kanan, sok fokus)
Jadi ingat pepatah lama, "tak kenal, maka tak sayang". Dari situlah, saya kemudian memutuskan untuk meminjam satu buku novel dari perpustakaan. Saat memilihnya saja, saya perlu waktu lama, supaya ketika membacanya tidak kecewa karena memilih buku dengan isi cerita yang membuat saya ilang feeling.
Sebelum membaca isinya pun, cukup lama saya menatap sampul buku novel itu. Bahkan masih sempat menggumam dengan cuek.
"Oke, baiklah. Aku ingin melihat, apa yang bisa kau berikan supaya aku bisa menyukaimu dan teman-temanmu."
Ya, saya seolah menantang sebuah buku untuk bisa membuat saya terpesona dan merubah pola pikir tentang hebatnya mereka (buku novel.red)
Dan hasilnya adalah, saya malah demam. Heeemmm, ini adalah cara ekstrim untuk membuat saya sakit (pegang jidat sambil geleng-geleng kepala) bayangkan saja, setelah membaca habis satu buku novel, dampak yang saya terima malah sebuah perasaan yang berwarna-warni seperti pelangi. Iinndaahh sekali, berupa detakan jantung yang bedebar kencang tiap kali saya masuk ke toko buku dan perpustakaan.
Karena, saya terpana ketika berada di tengah-tengah susunan buku yang mengelilingi (ekspresinya sok buuanget) dan saya pun mengakui kalau rasa benci itu berubah menjadi rasa cinta hehehe... (langsung malu-malu macan, abisnya malu-malu kucing udah biasa)
Dalam bayangan saya, mereka seolah menyapa dengan ramah dan siap menghidangkan berbagai cerita lezat untuk nutrisi otak yang kering kerontang. Semua buku-buku itu seakan tahu kalau isi kepala ini selalu kelaparan dan menginginkan mereka untuk saya santap dengan lahap
Saat membaca buku. Saya sangat fokus dan serius, membayangkan tiap perkata di sana dirajut sang penulis agar mudah diterima otak pembaca.
Dan! Petualangan cinta saya pun berlanjut (hehehe ... sengaja pilih kalimat perumpamaan yang lebbayy dikiiiittt) hingga akhirnya saya membaca salah satu buku novel yang terkadang membuat kepala ini manggut-manggut dan membulatkan mulut.
Ya, memang benar. Bahkan saya harus mengulang beberapa rangkaian kalimat indah di sana untuk dapat saya resapi.
Sesekali kali saya intip cetakan di sampulnya "Sekuel Novel Mega Best Seller", saya raba dengan penuh takjub sambil terpejam dan menarik napas panjang.
Waaoowww, hati ini serasa melompat-lompat, berteriak menginginkan hal yang sama. Lalu, saya pandangi tiap jemari yang sudah menghabiskan waktu mengepit alat tulis.
Mereka menari-menari menyalurkan tiap daftar ide di kepala dan kemudian saya menggumam pelan. "Apa kita mampu menciptakan karya tulis sebagus ini?" Saya melirik buku itu lagi sambil tersenyum.
"Buku adalah mercusuar yang berdiri di tepi samudra waktu yang luas." (Edwin P. Whipple)
"Buku yang kubaca selalu memberi sayap-sayap baru, membawaku terbang ke taman-taman pengetahuan paling menawan. Melintasi waktu dan peristiwa, berbagi cerita cinta, menyapa semua tokoh yang ingin kujumpai sambil bermain dilengkung pelangi." (Abdurrahman Faiz)