Schadenfreude – berasal dari bahasa Jerman - didefinisikan sebagai kesenangan manusia yang diperoleh dari penderitaan orang lain. Secara literatur, bisa juga dipahami sebagai “harm-joy”.
Namun disini sebenarnya saya lebih cenderung untuk mengantarkan isi tulisan ini pada sebuah kemungkinan akan ‘pengambilan keuntungan’ dari suatu pihak terhadap bencana/ penderitaan yang dialami pihak lain.
Wacana ini dimulai ketika saya sedang memilah-milah tumpukan brosur berisikan iklan - tawaran produk barang dan servis (layanan) - yang saya peroleh beberapa waktu yang lalu. Segera perhatian ini tersedot pada sebuah kertas kuning bertuliskan penawaran:
Gambar 2. Dokumen Pribadi
Alis ini langsung terangkat naik sebelah, membaca tawaran produk jasa yang tertera jelas di pamflet tersebut: Lumpur Lapindo sebagai obyek wisata..
Seperti terbaca dari brosur di atas, tempat bencana alam (human-error?) yang cukup dahsyat tersebut berada sejajar dengan destinasi wisata lainnya seperti Jembatan Suramadu, air terjun Coban Rondo, kota Malang, kota Batu, Jatim Park 2, Eco Green Park Batu, gunung Bromo, juga termasuk wisata kuliner Malang.
Daftar tempat piknik tersebut tak meragukan memang, terdengar sangat menjanjikan keindahan, tapi otomatis, mata ini ‘atret’ mundur ke belakang, kembali ke tulisan Lumpur Lapindo (LULA).
Pada objek kedua, kok terasa gimana gitu. Ada rasa berat menggayut di hati, yang berdampak selanjutnya pada paru-paru yang menghela napas sedikit tersengal.
Terbayanglah bencana LUSI (Lumpur Sidoarjo) yang pernah menghebohkan nasional dan internasional beberapa waktu lalu, dan bahkan hingga kini belum tuntas terselesaikan.
Tapi sungguh, bukan maksud hati menyalahkan 100% pihak travel terebut lho.
Bisa saja, tujuan tour tersebut bukan bersenang-senang belaka, namun juga sebagai edukasi, melihat langsung bentuk apa dari tragedi alam di negara tercinta kita ini.
Atau mungkin mengandung ajakan dan menyadarkan arti tentang kebesaran Tuhan.
Juga mungkin akan bertujuan untuk ’brain storming’ para turis domestik yang terbiasa manja, untuk memikirkan cara kerja Pemerintah. Bahwa ternyata tak mudah menangani plus memberikan solusi, baik dari segi urgensi waktu maupun ketepatan kebijakannya. Misalnya tentang mekanisme penggantian rugi (diwakili oleh PT Lapindo Brantas)- sebesar Rp 700-800 milyar, juga tentang proses keadilannya disini, karena banyak tersandung masalah.
Juga misalnya, belum tervalidasinya dokumen sekitar 3.000 warga korban, atau pro kontra pembebasan pajak dan bunga dalam dana talangannya, atau jaminan aset dari dana tersebut. Sangat kompleks. Multi dimensi- lah istilah kerennya. Wah pada akhirnya diharapkan dengan mengikuti kunjungan studi wisata ini akan mampu menggugah rasa ingin tahu mengenai kepedulian negara, sampai dimana usaha Pemerintah.
(Wah, jadilah sebuah usaha tour yang mulia nih..)
●
Keinginan saya sebenarnya sih, tergalangnya empati yang tergali dari ‘nonton bareng’ bencana ini sebaiknya diwujujudkan secara positip, berupa sumbangan uang atau barang kepada warga korban. Dengan demikian pihak travel bisa menjaga imej-nya bukan sebagai pengeduk keuntungan belaka.
Ah sudahlah, tidak baik berprasangka pada penyelenggara tour. Sebagai perbandingan, kita ingat akan diproduksinya film (dokumenter) “MUD MAX” berdurasi 1 jam itu, bukan? Tentunya, tujuan pihak produsernya bukan terfokus pada sisi entertainment saja.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.