Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Perempuan yang Mati dalam Kesendirian

10 Juni 2023   18:40 Diperbarui: 10 Juni 2023   19:57 126 3
"Ini, THR-nya disatukan dengan gaji bulan ini, diberikan lebih awal sebelum libur besar tiba. Dan ini, ada titipan zakat dari toko Mas Berkah. Minal Aidzin wal'faidzin, ya," ujar Ibu Kepala Sekolah.

El menerima dua amplop berwarna putih dengan tangan gemetar. Sebuah plastik berwarna merah, turut serta ia terima. Isinya, sekilas ia melihat ada beberapa bungkus biskuit kelapa dan biskuit lainnya.

"Alhamdulillaah." El mengucap syukur dan berterima kasih atas rejeki yang diterima dari  yayasan tempatnya mengajar.

Di dalam angkot yang membawanya. El mencoba mengintip isi kresek merah lebih jelas lagi. Selain biskuit kelapa, ada biskuit keju dan coklat, susu manis kaleng, dan roti kasur, terdapat juga; sebungkus gula pasir, minyak sayur, mie instan 5 bungkus, dan satu kain sarung.

Ada dua amplop, salah satu bertuliskan infaq 2.5 % Toko Mas Barokah. Penasaran El mengintip isinya. Amplop pertama ia buka berisi satu lembar 10 ribu rupiah  dan satu lembar 5 ribu rupiah. Amplop kedua, berlogo TKIT Al Hasan, ia menemukan uang yang ketika dihitung dengan matanya, total jumlah sekitar 190 ribu rupiah.

El berangkat mengajar dari rumah pukul enam pagi, dan pulang pun sudah pukul enam sore. Meskipun gajinya tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-harinya, bahkan untuk jajan telur puyuh, atau bakso ikan setiap hari di depan sekolah--yang aromanya menggiurkan lidah El--ia tak pernah mengeluh. El, dia bahagia, bisa berbagi ilmu untuk anak-anak yang lucu-lucu itu.

Tahun 2005 di desanya, masih sedikit lapangan pekerjaan terutama untuk perempuan. El sangat bersyukur selepas lulus SMA, dia masih bisa diterima mengajar tanpa harus berijazah PGTK. Sementara teman-teman sekampungnya, jika tidak merantau, mereka harus terima nasib--harus menikah muda dan berakhir jadi ibu rumah tangga.

Sebelum angkot sampai rumah, El menghentikan di depan gardu pos yang ada di kampungnya. Di sampingnya, ada jalan setapak menuju kebun. Dia turun dari kendaraan dan menapaki jalan tanah setapak itu tanpa rasa takut. Dalam remang senja jelang maghrib, El memasuki sebuah rumah tua yang hampir ambruk. Rumah itu gelap gulita.

"Assallamu' alaikum," salamnya, meski tak ada yang menjawab. Dengan cekatan tangannya menyalakan pemantik api yang selalu ia bawa di tasnya. El menempelkan api pada cempor di sudut ranjang. Setelah cempor menyala, tampak di ruangan gelap gulita itu sosok nenek yang sedang terbaring di atas ranjang besi tua beralaskan tikar yang sudah koyak. Ia menjerang air di atas perapian batu yang juga ada di ruangan itu.

Setelah air matang, El menyeduh susu.  Kemudian, ia mengeluarkan bubur yang sempat dibelinya di depan TK tadi. Dengan cekatan ia membangunkan si nenek. mengelap tubuhnya dengan air hangat, juga membersihkan kotoran di pantatnya. Lalu memakaikan baju yang bersih.

Setelah terlihat segar, kemudian El menyuapi nenek renta itu. Si nenek yang matanya rabun dan hanya bergumam tak jelas itu menerima suapannya. Setelah selesai, ia meminumkan susu. Kemudian, diselimutinya si nenek dengan kain sarung hadiah THR.

Meskipun ia  lelah dan lapar, El sempatkan sholat di sudut ruang beralaskan sejadah yang selalu ia bawa. Selesai sholat ia berbuka shaum karena sejak tadi, azan  maghrib sudah berkumandang. Air putih hangat mengalir membasahi tenggorokannya yang kering. El mengucap syukur. Kemudian, sebungkus takjil mengisi lambungnya yang kosong.

Selesai makan, El membereskan ruangan yang berantakan dan berdebu itu. Mencuci peralatan, mengangkat baju yang tergantung, membakar kotoran di perapian, dan mencuci baju yg masih layak pakai, lalu menjemurnya di sebuah tali rapia.

Adzan Isya berkumandang, El menatap si nenek, mencium pipinya. "Nek, aku pergi dulu, ya. Maaf, tak bisa menemanimu. Semoga Allah dan berkah Ramadhan ini yang akan menjagamu. Kutitipkan Nenek pada-Nya dalam doaku."

Dengan sedih, El pergi meninggalkan nenek sebatangkara. Sampai di rumah, hari sudah malam.

Sore hari sepulang mengajar, El mendapati kabar, Nenek Asmi--jompo 100 tahun yang tak diurus keluarganya--sudah meninggal tepat pukul dua belas siang karena terjatuh, ketika mencoba keluar rumah. Ia ditemukan sudah tak bernyawa oleh tetangga. Ketika El datang untuk bertakziah, anak-anaknya sudah berkumpul di rumah tua yang selama ini tak pernah mereka sambangi, dan mereka sedang berebut warisan.

Padahal, El hanya ingin melihat dan mengurus jenazah nenek untuk terakhir kalinya. Namun, ia malah menyaksikan perseteruan ahli waris keluarga nenek.

"Allah lebih sayang padamu, Nek Asmi. Kini, Nenek sudah bahagia di surga-Nya. Aku kan mendoakan Nenek selalu." El membatin.

El melangkah pergi tak memedulikan perseteruan para ahli waris yang memperebutkan harta warisan berupa lahan kebun yang luas dan sawah.

Dia juga tak peduli, ketika Ustaz menyebutkan wasiat yang sempat ditinggalkan Nenek sebelum meninggal dengan saksi tetangga, kalau nenek; menghibahkan sepertiga hartanya pada orang yang mengurusnya, juga masjid.

Tetangga tahu, hanya El yang mengurusnya setiap hari. Namun, tentu saja ahli waris tak terima, meskipun El menolak. Mereka marah dan menuduhnya mengada-ngada. Sayangnya, wasiat itu memiliki banyak saksi.

Ustaz pun menyusul El yang pergi begitu saja, dan memaksanya menerima "kanjut kunang"--kantong kain serbaguna-- wasiat terakhir Nenek untuk diberikan ke dirinya yang oleh ahli waris, dianggap sampah tidak berharga.

"Terimalah, ini amanat terakhir almarhumah Nenek Asmi, agar ia tenang di alam sana."

El tiba di rumah ketika orang tuanya masih di masjid untuk salat Tarawih. Di dalam kamar, ia meraba kantong kain yang berisi umbi-umbian empon-empon dan biji-bijian rempah yang sudah mengering yang konon bisa jadi penolak bala. Alangkah terkejutnya ketika dia menemukan beberapa keping uang kuno berwarna perak dan emas, dan cincin perak bermata batu mirah delima.

Takbir, tahmid, dan tahlil, kini berkumandang tak hanya dari masjid dan mushala. Namun, juga dari bibir dan pikiran El.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun