Dua berita diatas sudut pandangnya sangat tidak berimbang, dan tindakan aparat (Satpol PP) juga tidak seimbang. Coba simak, apa yang dilakukan para waria-waria itu, mereka sedang bekerja bukan?, mereka mencari nafkah juga, terlepas masalah pro atau kontra terhadap kehadiran waria, saya terus terang juga tidak sepakat ada waria apalagi yang tidak malu-malu mempertontonkan dirinya ke publik. Kenapa waria dijalan yang sembunyi-sembunyi dirazia dan dikejar-kejar?. Apa karena dianggap tidak menghibur atau tidak melucu, atau karena tidak resmi, tidak berizin?, padahal tindakan mereka hanya dilihat kalangan terbatas?, apakah mereka lebih berbahaya?. Coba bandingkan dengan tindakan waria yang ada di televisi, tindakan mereka yang melucu, menghibur, terlihat resmi dan berizin apa lebih terhormat dan tidak berbahaya?. Mereka mempertontonkan diri dan dilihat orang ramai dari Sabang sampai Merauke, seharusnya waria ditelevisi dipandang lebih barbahaya, kini bahkan seolah diakui dan mendapat tempat dihati masyarakat, juga ada jenis kelamin ketiga (tak jelas), tindakan mereka bisa ditiru banyak anak-anak dan merusak moral, bahaya bukan?, mengapa aparat (Satpol PP) tidak merazia dan mengejar-ngejar mereka juga?. Apa karena mereka ‘public figure’, idola (bukan ikatan dodol aceh) masyarakat, banyak duit. Kontras benar nasib mereka, itulah perbedaan nasib waria di jalanan dengan di televisi
Lain lagi berita tentang pekerja anak, anak bekerja memang benar harus disayangkan, karena seharusnya pada masa-masa itu mereka harus belajar dan bermain. Kita sebahagian sudah paham kenapa mereka terpaksa harus bekerja karena kondisi orangtua, namun simaklah baik-baik sesungguhnya sebahagian dari mereka cukup menikmatinya, dan mereka lakukan hal itu dengan bermain dan belajar juga. Coba simak pula ada pekerja anak yang malah dianggap hebat dan dipuja-puja, yaitu pekerja seni (pemain sinetron anak). Apa bedanya antara pekerja anak orang miskin dengan pekerja anak disinetron itu/anak berpunya?, mereka sama-sama bekerja. Kenapa pekerja anak orang miskin lebih menjadi komoditi yang seolah mereka itu telah kehilangan masa belajar, masa bermain dan masa depan. Mengapa pekerja seni disinetron dianggap lebih berprestasi dan membanggakan (populer, dipuja-puja dan lebih berduit), apa kita lupa bahwa mereka juga bekerja dikarenakan kondisi (ambisi) orangtuanya juga. Mereka hakekatnya sama-sama kerja.
Alhamdulillah, saya dan istriku masih dapat mengontrol pemanfaatan televisi. Maksudnya anak-anakku hingga kini jika menonton televisi masih bisa kami kontrol, waktu belajar dimatikan atau tidak dihadapan televisi. Sebisa mungkin yang namanya program gosip tidak kami ditonton, sinetron juga banyak tidak kami sukai, kecuali ‘Para Pencari Tuhan’ milik Deddy Mizwar karena ada pelajarannya. Kami sekeluarga juga suka acara lawak karena menghibur, tapi sayang lawak di Indonesia masih kasar; seperti nolak kepala, disiksa, dibentak, diejek bahkan perlakuan tidak senonoh. Coba simak Nunung di Opera Van Java, ditolak, diseret, dipukul pakai gabus/busa, dibungkus pakai tikar lalu diangkat ramai-ramai oleh pemain-pemain utama prianya. Kasar bukan?. Televisi Indonesia tidak lagi berfungsi mencerdaskan Bangsa.