tapi ada juga yang terkesan memaklumi tindakan kekerasan tersebut dengan dalil demi pemberantasan narkoba, "ah, daripada mempermasalahkan penamparan lebih baik fokus dengan pemberantasan narkoba." kira-kira begitulah komentar. terus terang ini adalah logika yang sangat-sangat bermasalah.
mengapa? karena perbandingannya sangat tidak apple to apple, karena kekerasan yang diduga dilakukan wamen dan bnn bersangkutan tidak ada kaitannya dengan pemberantasan narkoba, tapi semata-mata hanyalah luapan emosi barbar dan arogan atas perasaan superioritas jabatan terhadap bawahan, hanya saja kebetulan yang terkait adalah saat pemberantasan narkoba. ganti pemberantasan narkoba dengan sidak cek kebersihan lapas misalnya, kondisinya juga bakal tetap sama, apakah yang memaklumi mau bilang lebih baik fokus dengan cek kebersihan juga? ini tipikal mental arogan orde baru yang main pukul kalau merasa gak senang, terus mencari pembenaran dengan alasan demi penegakan hukum.
memang bisa jadi emosinya dipicu oleh lambatnya kerja petugas sipir yang berpotensi menghambat proses sidak yang sedang dilakukan, tapi bukan berarti dia bisa main pukul aja. semua yang terlibat, dari pihak lapas, pihak bnn sampai pihak wamen semua adalah lembaga resmi pemerintah, semua juga memiliki aturan dan prosedur yang berlaku, apabila ada kesalahan, proses sesuai prosedur, lakukan teguran atau marahi mungkin petugasnya atau bahkan lakukan pemecatan atas ketidakbecusan petugas bersangkutan, tapi tidak dengan main hakim sendiri dengan melakukan kekerasan fisik.
padahal di dunia beradab ini, kekerasan harusnya hanya dilakukan dalam konteks mendapatkan perlawanan fisik dan mempertahankan diri, apakah petugas lapasnya menghalang-halangi sidak sampai melakukan perlawanan fisik? enggak toh...
tidak ada yang menyangkal bahayanya narkoba, dan tidak ada juga yang menyangkal perlunya usaha lebih dalam pemberantasan narkoba yang kondisinya cukup memprihatinkan di indonesia. tapi memakai alasan demi pemberantasan narkoba kemudian memaklumi kasus kekerasan atasan kepada bawahan, maka yang merasa begitu sebaiknya belajar lagi pemahaman konteks kasus sebelum melakukan perbandingan.
sebagai manusia adanya emosi adalah sangat manusiawi, kadang ketika emosi gak terbendung melakukan hal-hal di luar kepantasan juga hal yang biasa, tapi begitu sudah dilakukan juga harus siap-siap menerima resiko atas hal tersebut, walaupun hanya karena emosi sesaat, sama seperti dahlan iskan yang mengamuk merusak kursi petugas tol dan membiarkan ratusan kendaraan masuk tol gratis, menimbulkan kerugian materi, dia juga siap-siap mengganti kerugian tersebut.
apa jadinya kalau hal tersebut dimaklumi? berarti ini menjadi sama seperti polisi yang merasa berhak memukuli tersangka yang tertangkap, dengan dalil melanggar hukum, atau senior menganiaya junior dalam institusi angkatan bersenjata atau pasukan berdisiplin, dengan dalil kedisiplinan, atau bos yang memukuli karyawan karena kerja gak baik, atau bahkan di tingkat sosial pencuri yang dihakimi sampai kadang tak bernyawa oleh massa yang suka main hakim sendiri, dengan dalil, "siapa suruh jadi pencuri?". ini semua adalah contoh mental barbar, mental arogan yang masih eksis dalam budaya masyarakat indo, layaknya dibumihanguskan dan tidak kalah pentingnya dengan pemberantasan narkoba.