Pertama, beranggapan bahwa kemajuan suatu negara dan bangsa tolak ukurnya adalah negara lain. Lagi-lagi, apa yang terjadi di negara lain dijadikan sebagai patokan dalam melihat diri. JK masih saja menggunakan logika generalisasi yang membabi-buta dalam memahami realitas, yang sesungguhnya kompleks itu. Seakan-seakan bangsa ini adalah sama dengan negara lain, maka adalah relevan jika menghadapkan Indonesia dengan negara lain pada satu cermin yang sama. sungguhlah keliru logika macam ini, mengingat konteks masing-masing negara dan bangsa bahkan wilayah (pulau) adalah BERBEDA alias tidak sama, sehingga adalah takabur jika potret di suatu negara tertentu dijadikan ukuran dalam melihat bangsa ini. apalagi, kemudian situasi yang ada di negara-negara itu dijadikan rujukan (keharusan) untuk diikuti.
Kedua, dominasi logika perbandingan. JK memang seorang ekonom, dan memang begitulah logikanya: membandingkan agar mendapatkan mutu. Adalah timpang, jika kita melulu menggunakan logika ini dalam semua aspek hidup kita. Apalagi jika itu dipakai dalam mendesain suatu sistem yang berkaitan dengan manusia. Logika perbandingkan adalah baik, jika dipakai dalam melihat dan menilai subyek atau obyek yang sederhana atau memiliki kemiripan yang total sama (misalnya robot). Petinju—yang adalah manusia pun—hanya bisa dihadapkan dengan lawan yang minimal harus sama dari sisi berat badan, agar seimbang. Bagaimana dengan membandingkan manusia yang unik bahkan kompleks, dan apalagi sebuah bangsa yang di dalamnya ada jutaan dan beragam individu yang berbeda satu sama lainnya? Apakah itu rasional?!
Di situ, nampak logika perbandingan tidak relevan. Tidak mendapat proposionalitasnya. Logika yang mestinya dipakai adalah tidak men-generalisasi sebaliknya coba menempatkan masing-masing realitas itu ke dalam kerangka yang fungsional (unik dan khas), di mana masing-masing konteks itu berbeda, sehingga saling melengkapi. Yang perlu JK taruh dalam otaknya adalah jangan melulu berpikir konflik (perbandingan), tapi melihat bahwa keragaman itu ada untuk saling melengkapi (kerja sama).
Pada konteks itulah kita mestinya melihat realitas pendidikan dari masing-masing negara, bahkan daerah. Bahwa tidak ada kondisi pendidikan di negara manapun yang lebih baik dan lebih tinggi dari kualitas pendidikan negeri ini. Adalah fakta bahwa ada perbedaan (keunikan), namun perbedaan itu tidak sama dengan lantas membuat pendidikan negeri-negeri yang dikunjungi oleh utusan JK itu lebih baik dari kita. tidak! Pendidikan bangsa dan daerah ini baik dalam dirinya dan menurut ukuran yang ada dalam konteksnya.
Pendidikan Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah berbeda dengan Indonesia. Maka, mestinya kita bisa saling belajar. Pun, tidak ada keharusan (apalagi memaksa diri) bagi kita untuk menjadikan kondisi pendidikan mereka sebagai ukuran ideal, sebaliknya demikian juga dengan mereka terhadap kondisi pendidikan kita. Kalaupun terjadi persentuhan (perjumpaan), yang harus terjadi adalah saling belajar dan melengkapi. Bukan seperti logika JK:kita harus mengikuti mereka.
Melihat pendidikan negara lain lalu mengatakan bahwa pendidikan di suatu negara itu lebih baik dan harus ditiru oleh kita sebagai bentuk ideal adalah keliru bahkan mitos. Karena sampai kapan pun, kita tidak akan bisa menjadi seperti mereka, pun sebaliknya. Kita ya, tetap kita. Dan mereka, ya, tetap mereka. Kita berbeda, jadi jangan memaksakan diri untuk menjadi seperti mereka.
Selain dalam soal tempat ibadah, salah satu komentar JK yang juga dangkal dan agak ngawur adalah mengenai UN ini. Sekali JK sudah mulai nampak payah!