Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Kaum Difabel Rumah Reot di Ende yang Tenggelam dalam Cakap Berisik

3 Februari 2022   22:00 Diperbarui: 3 Februari 2022   22:05 449 4
Mata Yulita Delima Dhamo berkaca - kaca. Ia tak tega melihat anak - anak asuhnya yang mulai menggerutu karena lapar. "Ibu Kami Lapar". Sudah pukul 13.00 Wita, jam makan siang.

Anak - anak yang ceria penuh tawa, kini tertunduk lesu sambil mengorek - ngorek tanah. Tak peduli seragam pramuka mulai kotor.

Yah, Rabu 2 Februari 2022, sekitar pukul 10.00 Wita mereka tertimpa musibah. Gedung reot tempat meraka  berlindung dari terik dan hujan, berasap dan pengat.

Kobaran api sudah menghilang, berkat aksi berani Tim Damkar. Yulita memandangi gedung itu. Ia meraih sebuah handuk berwarna biru, lalu mengusap wajahnya.

Asrama itu dibangun pada 1993 silam, sampai terbakar belum pernah direhab. Jangankan rehab, makan - minum untuk anak - anak saja harus 'meminta - minta'.

Yulita juga harus mengeluarkan uang pribadinya untuk makan minum dan kebutuhan listrik.

Asrama itu bukan di dalam goa, tapi di Jl. Adi Sucipto, Kelurahan Tetandara dekat Bandara Hasan Aroeboesman Ende, Tidak susah menjangkaunya.

Asrama dan area runway Bandara hanya dibatasi dranainse dan pagar besi. Drainase itu seringkali memuntahkan sampah dan banjir.

Yang mengikuti dinamika informasi tentang Ende, sedikit punya gambaran?.

Ah sudahlah rumah reot itu sudah lama 'hilang', terendam banjir, tenggelam dalam hingar bingar isu - isu yang dominan soal kuasa, jabatan, kelompok.

Hujat - menghujat, saling sindir, dalam hitungan detik sudah berseliweran di media sosial. Ini menjadi suguhan yang lebih menyedot perhatian bagi yang berkepentingan. Cakap berisik tak berisi.

Satu kalimat dari Yulita "Semoga kejadian ini (kebakaran) buka mata banyak pihak".

25 anak difabel, anak asuh Yulita, pasca kebakaran, linglung mau makan apa. Jika dihitung biaya makan  per anak, Rp. 15.000, total Rp. 375.000. Siapa Peduli? Para guru sudah bergerak, walaupun makan terlambat. Baru beberapa jam kemudian bantuan mengalir.

Yulita memang menangis, terlihat lunglai. Bagi saya, itu tidak sentimentil. Yah, dia bukan baru hari ini berurusan dengan anak - anak yang secara fisik kurang beruntung.

Pada 2008 silam hingga 2017, Yulita pernah mengabdikan diri di Panti Asuhan Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur. Saya cukup tahu, spirit pelayanan jebolan Bakti Luhur Malang. Itu juga tergambar pada Yulita.

Yulita hanya lunglai sesaat, ia bangkit, mengatur anak asuhnya. Makanan sudah siap, Yulita tak ambil duluan. Dalam lelah dan lapar dia berkeliling, membagikan makanan bagi anak asuhnya.

Senyumnya mulai merekah. Dia senang anak - anak kembali ceria. Sebelum pamit pulang, saya sempat melihat drainase Bandara, dekat asrama.

"Kami guru - guru selama ini ada kumpul uang, buat tembok untuk tahan banjir. Yah karena uangnya tidak banyak kami kerja setengah - setengah dulu. Kalo kami tidak bangun tembok asrama kena banjir terus. Semoga yang sisanya masih enam puluh meter, kami bisa selesaikan," kata Yulita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun