Setelah Megawati Soekarnoputri mengumumkan dan menetapkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden dari PDI-P maka,  dalam seminggu terakhir ini, ruang publik dan jagad politik di Tanah Air sedang diwarnai  dengan perbincangan hangat  mengenai siapa gerangan yang akan menjadi  Calon Wakil Presiden bagi Capres yang sudah diumumkan.
Perbincangan mengenai Calon Wakil Presiden ini, tidak hanya untuk Ganjar Pranowo, tetapi juga bagi Prabowo Subianto dan Anis Baswedan.
Pasalnya, Calon Wakil Presiden pada setiap hajatan Pilpres di Negeri ini,  tidak hanya sekedar sebagai Ban Serep Politik Partisan, tetapi  sudah menjadi salah satu elemen politik yang mendasar,  dan faktor penentu kemenangan elektoral pasangan Capres dalam konteks koalisi politik.
Hal ini menjadi semakin lebih penting  untuk mengakomodir basis pemilih pada setiap segmen konstituen,  baik pada level elit politik dan kelas menengah ke atas, maupun level kalangan bawah  pada ranah politik di akar rumput.
Meski belum ditetapkan secara resmi oleh KPU sesuai ketentuan Undang-Undang Pemilu, khususnya berkenaan dengan Pilpres, tetapi publik sudah semakin  memahami bahwa, paling tidak ada tiga Calon Presiden yang akan diusung oleh Partai Politik atau gabungan partai politik untuk perhelatan Pesta Demokrasi Pilpres 2024, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anis Baswedan.
Kemudian, dalam dinamika situasi politik mutakhir dalam  seminggu ini, konstelasi  politik sontak berubah seketika, seolah seperti petir menyambar di siang bolong, karena Megawati Soekarnoputri secara mendadak mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden dari PDI-P.
Memang,  secara common sense, publik pada umumnya juga tahu bahwa, Calon Presiden dari PDI-P yang diharapkan adalah Ganjar Pranowo, karena selama ini memiliki elektabilitas  paling tinggi,  dan bukan Puan Maharani, apalagi Prabowo Subianto yang bukan Kader PDI-P, meski hampir sebagian besar pemilih PDI-P  berdebar cemas, jangan sampai  Puan Maharani yang akan diumumkan.
 Kecuali itu, sebagian  pihak yang lain, juga berharap cemas  bahwa, semoga Prabowo Subianto yang diumumkan sebagai Calon Presiden yang didukung dari PDI-P dengan model kerjasama kolaboratif  atasdasar Memori Politik yang pernah terjadi pada masa yang lalu,  meski mungkin saja hari ini,  hal itu  hanya menjadi semacam Nostalgia Politik.
Apalagi, Ganjar Pranowo sebagai Maskot Politik di akar rumput PDI-P serta simpatisan publik pada umumnya,  tengah berada dalam "sangkar burung politik", karena sedang memikul beban berat  atas Piala Dunia U-20 yang batal di gelar  di  Indonesia, sehingga telah mengecewakan banyak kalangan di Tanah Air.
Situasi seperti itu  sempat juga menjadi umpan api  yang paling potensial secara politik untuk menggoreng dan menggulingkan Ganjar Pranowo dari posisi puncak elektabilitas Persepsi Publik sebagai bakal Calon Presiden.
Oleh karena itu, ketika move politik Koalisi Besar yang dimotori oleh beberapa Ketua Partai Politik dalam  membuat wacana untuk konsolidasi membangun Kekuatan Politik tanpa kehadiran PDI-P, maka di luar dugaan banyak kalangan, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri secara elegan mengumumkan  Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden.
Momentum pengumumannya itu pun mengejutkan banyak pihak, karena tampak terasa mendadak dan  tergesa-gesa, serta luput  dari  perkiraan banyak pihak bahwa, sejatinya  PDI-P akan mengumumkannya pada  Tanggal 1 Juni 2023 sebagai Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, atau Tanggal 6 Juni 2023 sebagai Peringatan Hari Lahirnya Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian, fakta politik pun memperlihatkan kepada semua pihak bahwa, setelah PDI-P mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden, maka semua konstelasi dan konfigurasi Politik menjadi berubah secara signifikan.
Dengan demikian, secara politis dapat disinyalir pula bahwa,  peta perubahan Koalisi dan atau Kerjasama Politik menjadi semakin dinamis melalui pertimbangan politik yang lugas, otentik dan terukur,  karena ada  Faktor Determinasi  Politik sebagai The King Maker, yaitu Presiden  Joko Widodo sebagai Satu Faksi Kekuatan Politik yang amat Besar dan Berpengaruh di Negeri ini.
Dikatakan demikian, karena secara empiris, tampak  terasa  bahwa, di luar faktor Partai Politik sebagai pemegang otoritas mengenai how to get power,  ternyata ada dimensi lain di luar Partai Politik dalam rangka how to use power,  yang sekarang lebih populer diberikan  terminologi secara Politis sebagai "Kekuatan Istana".
Dengan demikian,  entitas dalam diksi  ini merupakan Variabel Politik yang "Sangat Kuat" dan akan menjadi The King Maker untuk menuju  ke Momentum Politik dalam Pilpres 2024.
Lebih lanjut, dapat dipahami juga  bahwa, dalam perjalanan sejarah bangsa ini,  sudah ada tujuh Presiden Republik Indonesia, sejak awal Proklamasi Kemerdekaan sampai sekarang,  yaitu Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden  Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati Soekarno Putri, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo, yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai Jokowi.
Ketujuh Presiden ini memiliki ciri personal tersendiri dengan tipologi leadership sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dengan  corak, cara, bentuk, gaya,  pola dan  arah  kepemimpinan yang diterapkan secara  khas pada waktu dan periodenya masing-masing.
Corak dan cara ini, senantiasa diterapkan secara berbeda, meski peran dan orientasi kepemimpinannya relatif sama, yakni Memimpin Indonesia menjadi Bangsa dan Negara yang berdaulat, secara Sosial Ekonomi dan Sosial Politik, berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia.
Jokowi, "Kuda Hitam" Â yang Tak Pernah Dihitung
Dalam sejarah perkembangan politik domestik di Negeri ini, bangsa Indonesia pernah mengalami kondisi sosial politik yang sangat represif dan  mencekam,  dengan nuansa politik yang cenderung otoriter, terutama pada masa dan rezim Orde Baru, yang berlangsung kurang lebih selama 32 tahun.
Pada masa ketika itu, disinyalir bahwa,  jika  ada warga negara  yang bicara mengenai sosok Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,  atau berpendapat mengenai suatu hal yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan,  serta memberikan komentar atas apa pun kebijakan yang diambil oleh Presiden, maka sehari kemudian, warga Negara yang bersangkutan juga langsung "diambil" dan diinterogasi untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya sebelum ditetapkan sebagai tersangka subversif oleh otoritas pemerintah melalui  Intelijen dan Laksus (Pelaksana Khusus)  pada  waktu itu.
Kemudian, kisah sejarah dalam rentang  waktu yang demikian itu pun berlalu begitu saja, dan  ketika memasuki Orde Reformasi sejak Tahun 1998, Negeri ini mulai mengalami Transformasi dalam beragam hal, baik secara Sosial,  Ekonomi,  Politik, Hukum  dan Budaya serta Hak Azasi Manusia yang  menuju ke arah baru dengan dimensi yang lebih bebas, dinamis  dan merdeka.
Bahkan sangking bebasnya di era itu, maka Orde Reformasi itu pun sering pula  disebut sebagai Reformasi yang
Kebablasan seperti "kawanan kuda" Â yang lepas dari kandang, dan berlarian entah kemana, seolah tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Demikian pula,  modus operandi kepemimpinan para Presiden setelah Orde Reformasi, memiliki cita rasa sosial politik yang beragam, dengan orientasi dan aksentuasi Pembangunan Bangsa dan Negara yang tidak pernah seirama secara berkelanjutan  di mata dan hati Rakyat Indonesia.
Oleh karena itu maka,  ketika muncul pertama kali ke atas panggung politik di Negeri ini sebagai Calon Presiden, Jokowi hampir  tidak masuk dalam perhitungan banyak pihak bahwa, Jokowi  bakal akan tampil sebagai seorang Pemimpin Besar yang Bereputasi Internasional, yang diakui di dalam negeri maupun di kalangan mancanegara.
Dikatakan demikian karena,  sejatinya Jokowi adalah seorang "Tukang Kayu", dan  Pedagang Mebel dari Kota Solo yang karena garis tangannya dari Yang Maha Kuasa, sehingga Jokowi dapat menjadi seorang Wali Kota di Jawa Tengah, yang reputasinya relatif datar dan biasa saja.
Meskipun demikian, karena takdir politik yang demikian itulah, maka Jokowi  hadir di Jakarta untuk mencoba keberuntungan politik di rimba raya Ibu Kota untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ketika memimpin DKI  Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama, banyak hal impresif yang telah dilakukan untuk membangun Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dengan pola pendekatan kepemimpinan yang humanis dan merakyat  sampai ke level akar rumput di seantero DKI Jakarta Raya.
Kemudian, dalam dinamika politik yang fenomenal, Jokowi lalu maju sebagai Calon Presiden, Â dan pada akhirnya tampil sebagai pemenang dan menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh, berpasangan dengan HM. Jusuf Kalla pada periode pertama dan KH. Ma'aruf Amin pada periode ke-dua sampai saat ini.
Dalam periode Kepemimpinannya, telah terjadi banyak terobosan Isolasi Sosial Politik dan Kebangsaan, terutama telah membuka banyak Sekat Sosial Ekonomi melalui Pembangunan Infra Struktur, baik di darat, di laut dan di udara yang hampir merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan,  terobosannya  yang paling fenomenal dan legendaris adalah merangkul dengan ketulusan hati  seluruh Anak Bangsa di Negeri ini dalam hamparan Wilayah di Indonesia Bagian Timur yang sudah sekian lama  "dibiarkan"  seolah seperti Anak Tiri di  Rumah  Sendiri, yaitu  Rumah Bersama  Indonesia Raya.
Meskipun demikian, semua jejak langkah dalam membangun Indonesia dari Wilayah Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai ke Pulau Rote itu, tidak selalu diapresiasi dengan baik dan layak oleh sebagian rakyatnya sendiri.
 Bahkan, bagi sebagain pihak di Negeri ini, justru memandang Jokowi  dengan sebelah mata, tanpa kepastian dan harapan akan realitas hari ini, serta  gambaran perkiraan ke masa depan.
Di samping itu, Jokowi kerap kali memberikan perhatian kepada rakyat di wilayah provinsi tertentu yang ketika Pilpres selama dua periode tidak pernah memilihnya sebagai Presiden.
Perhatian dimaksud antara lain,  dengan membangun infrastruktur demi kesejahteraan masyarakat di daerah yang kerap kali menolaknya sebagai Presiden pilihan Rakyat Indonesia pada umumnya.  Akan tetapi, masyarakat yang bersangkutan beserta sebagian pengamat politik dan ekonomi selalu menggunakan Kacamata  "Air Susu dibalas dengan Air Tuba" ketika melihat kenyataan perubahan positip di depan mata.
Demikian juga, selama hampir usai kepemimpinannya dalam  Dua Periode sebagai Presiden,  masih saja ada sebagian pihak di Negeri ini yang tetap konsisten memfitnah dan menghinanya, dengan argumentasi yang amat sumir, dengan  mengarah kepada Ad Hominem (sesat pikir) melalui  beragam bungkus alasan dengan berlindung di balik argumentasi sebagai kritik  yang membangun.
Betapa pun  serangan yang dilakukan oleh sebagian pihak kepada dirinya dengan muatan sentimen politik dalam seluruh  masa Kepresidenannya, tetapi Jokowi tetap saja bersikap  tenang,  dan tidak pernah membalas, sehingga sebagian pihak memandangnya seolah sebagai  Presiden "yang lemah dan tak berdaya".
Kekuatan Jokowi, Â Terletak pada "Kelemahannya"
Dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, tampaknya belum ada Presiden Indonesia yang dipandang rendah oleh segelintir rakyatnya dengan mengabaikan tatakrama, etika dan sopan santun sebagai Warga Negara yang berakal budi dan berhati nurani.
Banyak peristiwa dan kejadian Sosial Politik yang menempatkan Jokowi sebagai sasaran tembak dengan beragam alasan sebagai Sumber Soal yang menjadi faktor pemicu utama.
 Misalnya saja, ada rancang bangun dan desain demo massa,  dengan memanfaatkan suatu momentum krusial yang sedang menjadi perhatian publik, dengan target  untuk mencoba melengserkan Jokowi, dan hal seperti ini sering terjadi berulang kali.
Namun demikian, semuanya itu tidak pernah tercapai, Â karena Jokowi didukung sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu setia kepada dirinya sebagai Presiden pilihan rakyat.
Oleh karena itu, Jokowi tampak begitu kokoh  secara sosial dan politik di mata publik, sebab sosok Jokowi yang tampak sangat kuat itu ditopang oleh Keberaniannya untuk Mengambil Keputusan dengan segala Risiko Politik yang akan terjadi.
Kecuali itu, kemurnian hati nurani dan kebersihan motivasinya telah menempatkan dirinya di muka publik sebagai Presiden Indonesia yang sangat dicintai rakyatnya.
Karena itu, sosok Jokowi di mata publik tidak hanya sebagai Presiden Pilihan Rakyat, tetapi  sudah merupakan personifikasi dari hati nurani masyarakat Indonesia. Dan itulah yang membuat mengapa Jokowi begitu kuat di Mata Kawan dan Lawan Politiknya. Dan hal ini terkonfirmasi dengan  hasil riset  dari berbagai Lembaga Suvey yang kredibel bahwa, kepuasan publik terhadap kinerja  Presiden Jokowi saat ini berada  pada angka 75 % .
Dan fakta itu kembali menegaskan bahwa, Kebaikan dan Kebenaran  selalu akan  menemukan Jalannya sendiri, dengan model dan cara bahwa, meski dihina dan difitnah sedemikian rupa, tetapi Jokowi tetap tenang,  dan  tidak pernah membalas.
Demikian juga, ada Media  Nasional yang menggambarkan sosok Jokowi yang adalah Presiden Republik Indonesia,  dalam  Parodi Politik melalui Gambar Karikatur pada  Sampul Depan sebuah Majalah Ternama  di Tanah Air sebagai Pinokio!
Kecuali itu, ada hal yang sangat disayangkan oleh banyak pihak, karena ada Tokoh Nasional, Mantan Ketua MPR dan
Pemimpin Partai Politik pernah menyatakan bahwa Presiden Jokowi seperti Bebek Lumpuh.
Bahkan, ada pula  Pengamat Politik dan Akademisi, Rocky Gerung yang menyatakan kepada publik bahwa Jokowi adalah Presiden yang Dungu dan Otaknya Kosong. Hal ini terkonfirmasi secara valid oleh Luhut Binsar Panjaitan, "tangan kanan"  Presiden Jokowi pada RGTV (19/09/2022).
Demikian juga, ada banyak Tokoh dan Pengamat Politik dan Ekonomi di Negeri ini melihat apa yang sudah dibangun oleh  Jokowi selama hampir 10 tahun ini sebagai sesuatu yang hadir tanpa makna di mata masyarakat menurut versi para pengamat dalam posisi sebagai oposisi.
Padahal, hampir sebagian besar masyarakat dan Kepala Negara di Dunia  memandang dan menghargai Jokowi sebagai Presiden yang sukses Membangun Indonesia. Fakta Ini selalu akan menjustifikasi Axioma Ilahi  yang menyatakan  bahwa, memang benar, Seorang "Nabi" tidak pernah akan dihormati di Negerinya sendiri.
Selain itu, dalam ranah politik praktis, Jokowi kerap kali ditempatkan  pada posisi politik yang bersifat periferial. dan bukan sebagai aktor utama di panggung politik, tetapi fakta poltik sedang memperhatikan bahwa,  situasi politik masa kini justru sedang  berlaku dan menggambarkan realitas politik yang  sebaliknya.
Dalam hubungannya dengan itu, memang sudah menjadi semacam rahasia umum, bahwa Jokowi kerap kali dilabeli sebagai "Petugas Partai' oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Politik PDI-P, Â di mana Jokowi bernaung sebagai Kader PDI-P.
Meskipun sebutan dan predikat seperti itu bersifat esoterik artinya berlaku hanya dalam lingkup lokal di PDI-P, tetapi justru hal itulah yang semakin menguatkan empati publik terhadap sosok Jokowi, dan hal itu  dapat menjadi  semacam  Injeksi Moril yang  membuat posisi Jokowi  semakin kuat di mata dan hati masyarakat Indonesia.
Dan sebutan seperti itu pun sangat melekat di benak publik, yang kadang mengusik nurani masyarakat sebagai Bangsa Indonesia, ketika Jokowi hadir sebagai Presiden di Acara Partai Politiknya, kemudian dipandang kehadirannya sebagai "Petugas Partai", dan Jokowi pun tidak pernah keberatan, melalui  gesture politik atas sebutan kepada dirinya seperti itu, karena Jokowi sangat menghormati  Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P, dan itulah "Kekuatan Jokowi" yang justru terletak pada "Kelemahannya".
Apalagi, dalam jejak digital masyarakat,  masih melekat di memori publik, ketika Jokowi datang "menghadap" Megawati Soekarnoputri,  dan duduk berhadapan di depan meja  pada  sebuah kursi tanpa "sandaran lengan".
Momentum seperti itu, memang telah menuai banyak respons yang beragam, tetapi Jokowi adalah sosok Presiden Republik Indonesia yang sabar dan rendah hati.
Kesabaran dan kerendahan hatinya itulah yang membuat Jokowi tetap dicintai hampir seluruh rakyat Indonesia, dan dikagumi oleh banyak Masyarakat dan banyak Tokoh di Dunia.
Oleh karena itu, meskipun dalam pandangan publik, Jokowi selalu diperlakukan secara tidak "semestinya" oleh sebagian pihak, dan Jokowi  tampak seolah lemah tak berdaya, tetapi justru di situlah Kekuatan Jokowi yang paling otentik serta  elegan, dan tidak bisa dilawan oleh siapa pun.
Jokowi, The King Maker Seng Ada Lawan
Frasa dan Citarasa Bahasa Seng Ada Lawan, merupakan ungkapan Bahasa Ambon, yang kurang lebih artinya : sangat kuat dan tidak ada lawan.
Ungkapan ini mau menegaskan bahwa, meskipun Jokowi bukanlah seorang  Ketua Partai Politik di Negeri ini, tetapi dalam konteks Dinamika Politik di Indonesia,  Jokowi merupakan Faktor Determinan dan Penentu Arah dan Tujuan Politik di Indonesia hari ini dan ke masa  depan.
Dalam fenomena Politik mutakhir di Tanah Air,  Jokowi memiliki kekuatan Politik yang Full Power, dan saat ini menjadi Magnet Politik yang sangat kuat dan  berpengaruh terhadap dinamika dan konstelasi Politik di Indonesia.
Betapa tidak, dalam realitas politik masa kini, siapa pun Ketua Umum Partai Politik atau pun  Tokoh dan Aktor Politik yang hendak mengambil Keputusan Politik, selalu perlu mendapat green light dari Jokowi, walau tidak pernah diminta oleh Jokowi,  pada hal Jokowi hanyalah "Petugas Partai", bukan pula  Ketua Umum dari satu Partai Politik yang amat berpengaruh di Indonesia. Jokowi hanyalah seorang Presiden yang sedang berada di ujung senja masa Jabatan Periode Ke-dua dalam hitungan beberapa bulan ke depan.
Walaupun  demikian, arah angin politik di Negeri ini akan sangat ditentukan oleh kemana arah Jokowi Mengibaskan Tangannya.
Oleh karena itu, seperti apa dan Bagaimana Warna serta  Dinamika Koalisi Politik yang akan dibangun dan yang sedang didesain, akan sangat ditentukan oleh Jokowi sebagai The King Maker. Hal itu akan tampak terasa dan nyata terlihat, baik di Panggung Politik Depan, maupun di Panggung Politik Belakang Layar.
Dinamika dan Sinyalemen ini akan sangat berpengaruh terhadap Keputusan Politik yang sedang di Desain di balik layar, termasuk Siapa Calon Wakil Presiden yang akan berpasangan dengan Siapa Calon Presidennya.
Bahkan yang akan lebih spektakuler secara Politik adalah, berapa Pasangan yang akan bertarung di Pilpres 2024, apakah Tiga Pasang untuk Dua Putaran, atau hanya Dua Pasang untuk Satu Putaran.
Oleh karena itu, meskipun Pilpres baru akan diselenggarakan pada Tahun 2024, tetapi sesungguhnya Pertarungan Sengit sedang terjadi saat ini di balik layar.
Kekuatan Jokowi ini, merupakan manifestasi dari kerinduan dan harapan  masyarakat Indonesia untuk menuju kepada Indonesia Emas di Tahun 2045, melalui keberlanjutan kemajuan Indonesia yang sudah diletakan oleh Jokowi selama kurang lebih hampir 10 tahun masa kepemimpinannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Oleh karena itu, meski dihina dan difitnah, tetapi Kekuatan Jokowi tak pernah pudar dan lapuk oleh derasnya  hujan politik dan tak pernah  lekang oleh panasnya persaingan politik, karena rupanya Jokowi dan para pendukungnya selalu percaya bahwa, "Hanya Pohon yang Berdaun Rimbun dan Berbuah Lebat yang akan diguncang  dan dilempari Batu"_, dan itulah Jokowi, _The King Maker Seng Ada Lawan !
Catatan : Tulisan ini adalah Opini Pribadi.