Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Interpolasi

16 Agustus 2024   15:28 Diperbarui: 16 Agustus 2024   15:29 139 20
DONGENG LANGIT.
Sentir layar terkembang cahaya pembuka.
Musik: Metal symphony adegan berkisah.

Bikin manuver karya seni boleh saja. Tapi, kalau misleading, tak bermanfaat edukatif. Waktu edarnya seumur jagung, tak mencapai estetika komunikasi antar waktu; hubungan news awareness dengan pemirsa tak berdampak sesuai citarasa target sasaran ruang-waktu. Bahkan terkesan anomali salah kaprah pada nilai tatanan Ilmu Kebudayaan.

Karya seni modern; film, teater, susastra, politik, budaya-inheren akulturasi, multimedia, lifestyle all in one, kalau sekadar jadi karya seni tanpa muatan edukasi kebenaran publik, untuk apa.; Tidak baik memelihara paranoia konon pemicu penyakit kronis. Mendingan ternak ikan lele, ikhlas bermartabat membantu sesama lebih manfaat.

Seandainya meniru adegan tertentu dari media layar kaca di perhelatan karya seni, boleh saja, tapi scenario-shot by scene wajib cerdas, jangan terkesan sekadar info gertak sambal tabelaris. Secara keilmuan hasilnya ketupat sayur tanpa garam-karakter buram laiknya papan reklame lagi ngomel, tak menyentuh konsep dokumenter faktual.


KANTOR JURNALIS. SIANG.
Rapat redaksi sejak pagi selesai setelah makan siang.

Menyimak kata penutup Pemimpin Redaksi (PemRed). "Saya tolak terbit calon artikel karya seni nonfiksi tersebut. Lakukan ulang autentisitas. Investigasi estafet semua ranah sumber informasi kognitif. Valid, final, mumpuni. Saudara Redaktur Pelaksana (RedPel) koordinasi empiris dalam waktu dua puluh empat jam."

"Baik. Segera melaksanakan." Jawab RedPel.

Lanjut PemRed. "Oh! Satu lagi. Penting saya garis bawahi. Riset, tidak nyomot data viral dari media lain. Tabu! Pakai estetika, etika jurnalisme jurdil (jujur adil). Hindari keberpihakan sebelah mata. Jangan bikin mules perut publik. Rapat saya tutup." Suara PemRed, tegas membumi. Para jurnalis memburu target. Bakalan bergadang deh.

Suara langit suara nurani,
surga terindah di taman hati.
Jangan mengotori suara langit
suara nurani dengan polusi


Kalau sekelas film All the President's Men (1976).; Sutradara, Alan J. Pakula; dari Novel nonfiksi berjudul sama terbit pada 1974, karya dua jurnalis mumpuni, Carl Bernstein-Bob Woodward, dua penulis, pelaku asli jurnalisme investigatif skandal Watergate untuk media The Washington Post.

Pemeran, Dustin Hoffman sebagai Carl Bernstein, Robert Redford sebagai Bob Woodward, masing-masing memerankan tokoh jurnalis investigatif dengan kekuatan nilai seni akting prima-spekta, jurnalisme jurdil, menginvestigasi realitas skandal Watergate. Menggetarkan kependekaran kreativitas film kelas dunia, keren, asli.

Latar belakang kisah, shot by scene, dua jurnalis memberi pelajaran pada dunia, teguh beriman menjunjung tinggi kesakralan seni jurnalisme jurdil berkelas, edukasi publik kelas opini dunia, takjub. Kedua jurnalis digambarkan, siap, menghadapi berbagai risiko ancaman termasuk, intimidasi receh kolusi di sistem keamanan negerinya.

Film nonfiksi, All the President's Men, bermanfaat opini publik kelas dunia; tidak sekadar nyomot nota tabelaris statis pelaku info, satu penyebab karya seni sinematik tak menggedor adrenalin inteligensi pemirsa-dasar tata acuan dramatik film-transisi komunikasi visual tidak boleh kehilangan peran karakter visual sekalipun untuk film dokumentar faktual.

Film All the President's Men, sangat berhasil menciptakan bangunan karakter, fakta pada kejadian peristiwa. Cermat, mengaduk-ngaduk, mengolah emosi penonton menalarkan fakta peristiwa, berhasil membawa masuk pemirsanya, dramatis, mengajak serta berpikir cerdas tentang skandal Watergate. Teramat piawai dalam alur kisah.

All the President's Men; film cerdas, tak ada muatan provokasi negatif untuk publik opini kelas dunia.; Adem, sejuk banget nontonnya, memberi pelajaran politik tingkat begawan. Bukan pelajaran politik recehan, hiks, kapan dewasanya kalau hobi ngotot dot com.; Lebih seru nonton stand up comedy, bermanfaat, ngakak sembari happy ngopi.

Catat dengan huruf tebal.; Karya seni tidak punya senjata untuk perang bintang.; Karya seni, film, teater, susastra, musik, instalasi, karya seni apapun itu, pemilik kecerdasan-kejujuran, beriman mutlak pada Ilahi-pemberi anugerah keagungan rahmat-Nya; multitalenta disiplin, untuk insan kamil.; Bukan untuk sistem-isme, apapun.

Isme, buatan manusia kadangkala berinteligensi robot, sempit-terbatas, mudah rusak, di acak-acak sampai kedodoran tak mampu mencapai fitrah langit Ilahi. Fakta.; Koruptor pandir masih merajalela di dunia. Di arena persilatan bisnis gigantik wow ciluk baa, lempar batu sembunyi tangan, raib, menggaib, ajaib. Dor! Nongol di top news media, petinggi negeri atas angin menjemput koruptor di terminal bandara. Hebat?

Riset tingkah laku publik tidak mudah, tak sekadar jadi tabelaris, berbeda dengan riset bahan baku pokok. Publik.; Bernapas, bergerak sesuai citarasa sosialnya, punya nyawa, pemilik otak buatan Ilahi, punya nurani, bukan benda mati. Contoh; riset hari ini hobi eskrim, sejenak kemudian, belok ke escapur kacang merah, lifestyle modis kekinian; esensi kecepatan perubahan kemodernan sejak peradaban lampau.

Realitas berbeda dengan
angan-angan
Imajinasi berbeda dengan
mimpi-mimpi



WARUNG KOPI KAKI LIMA. SIANG.

"Aku ragu kawan."

"Akupun mempertimbangkan keraguan. Sama persis kita. Untuk siapa sebenarnya target tontonan tersebut, publik macam apa, mau kemana, mau ngapain, alamak. Kalau sumber datanya macam itu, tak laik terbit naik cetak sebagai berita utama di top media macam kita."

Telepon berdering, membaca pesan singkat. "Kabar dari Sekretaris Redaksi (SekRed), instruksi PemRed. Segera rapat RedPel, kawan-kawan sudah menunggu. Cabut!"

"Sip." Barengan bergegas ke kantor jurnalis.

Kantor. Rapat RedPel. Hadir lengkap, suasana agak tegang, meski tidak horor. "Kalian dapat apa. Ikan teri atau kakap." Suara RedPel alias komandan pemberitaan, bergetar.

"Teri tampaknya." Suara masing-masing jurnalis. SekRed, mencatat semua data.

"Oke, kita jumpa satu jam lagi. Menunggu hasil pleno PemRed dengan direktur bidang usaha." Suara SekRed.

"Rapat redaksi selesai." RedPel bergegas, semua bergegas. Selanjutanya waktu berjalan lebih cepat. Final; teks untuk artikel utama, karya seni itu, ditolak terbit; praduga sementara terindikasi keterlibatan the invisible hand.

"Kembali ke desk liputan masing-masing, tugas sesuai catatan tadi." SekRed, suasana mendadak ringan. RedPel, tersenyum lebar, lega rupanya tak jadi bergadang.


GEDUNG TEATER. MALAM.
Tontonan pertunjukan drama musikal.

Adegan sampai di tengah klimaks dari peristiwa kisah opera wayang. Stage scenography, estetis. Tindakan meninggalkan gelanggang tampaknya menjadi perilaku sejarah lawas monarki hingga kemodernan, ketika kekuatan hadir lebih mumpuni jernih bagai cermin. Sekalipun, mungkin juga di sebaliknya cermin buram.

Pentas teater musikal di gedung pertunjukan itu sampai pada kisah, Yudhistira, gundah gulana, pikirannya mondarmandir hatinya resah gelisah tak terduga terbatabata. Setelah mendapat nasihat sempurna dari, Begawan Wiyasa, mahaguru kehidupan sangat dihormati oleh Pandawa-Kurawa.

Sabda Begawan Wiyasa "Akan terjadi malapetaka dahsyat hancurnya generasi para raja juga para satria berguguran di perang besar nantinya. Pedih perih nurani, Yudhistira, memaknai ramalan mahaguru, Begawan Wiyasa. Lampu panggung berubah adegan berganti.

Dua sahabat jurnalis sedang menyaksikan tontonan itu. Salah satu dari kedunya membaca pesan singkat di telepon genggamnya, lantas "Kawan aku pamit."
"Ada apa rupanya?"
"Besok kita bahas pertunjukan ini di kantor."
"Alamak. Mau kemana rupanya."
"Antar si cantik ke dokter, flu katanya."
"Salam baik buat cantikmu ya."
"Sampai jumpa besok. Sip." Bersalaman.

Scenography view.; Panorama keindahan Indraprasta megapolis Panca Pandawa, menggelar upacara Rajasuya, sekaligus penobatan, Yudhistira, sebagai maharaja, meskipun tetap dalam pengawasan persaingan pemerintahan, Hastinapura Kurawa.

Scenography view.; Kembali berubah menjadi panorama interior megah Hastinapura Kurawa. Musik opera teater membahana, riuh keindahan pertunjukan.

Entrance.; Para tetamu. Muncul maharaja utama, Yudhistira, tokoh sentral di antara para tetamu memenuhi undangan sepupunya, di Hastinapura Kurawa, untuk bermain dadu.

Sengkuni, sang diplomasi ulung berpihak pada Kurawa, terkekeh-kekeh di sudut lain pertemuan itu, sebagai  pembuka adegan permainan dadu, Yudhistira versus Duryudana, masing-masing bersama tim penasihatnya. Sengkuni, bertindak sebagai pelempar dadu.

Jangan memanggil takdir
kalau belum mampu membaca
kitab kehidupan sebelum kejadian

Makin tinggi semakin beriman
sebagaimana seharusnya,
tak sekadar suguhan teh hangat
lantas berlalu seumur jagung.

Eh halah! Gong!

Kiai Semar pergi dari bumi
menuju kahyangan sembari
senyum di antara menangis
menutup dongeng langit
untuk sementara waktu.


***

Jakarta Kompasiana, Agustus 16, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun