Beres. Lantas biarkan tubuh merasakan kehangatan, mengalir di sel-sel darah secara saksama bertahapan dalam alur sketsa mimpi-mimpi sebagaimana diperlukan inteligensi sesuka pemiliknya. Terbanglah. Boleh. Berlari-lari juga boleh. Asal jangan mabuk kepayang karena cinta atau dicintai oleh imaji.
Bertemulah warna-warna superior tak terduga, saling menjalin asa kinanti telah dinanti berabad di zaman berlari di peraduan kekasih peradaban, selalu saling mencintai, berpagutan estetika kasmaran kidung senja berayun-ayun menabrak angin sepoi-sepoi sembari bilang "I love you", kalau nyata benar ada.
Kalaupun mimpi imajinasi, mensyukuri hakikat sekalipun di antara hidup matinya kefanaan. Ada waktunya bertemu keabadian. Memasuki taman tak serupa taman apapun pernah melintas sekalipun terlintas di alam dunia imajinasi. Mungkin ini kesadaran sublim, barangkali pula di antara alam semesta transendental tak pernah ada dimanapun.
"Apakah masih perlu bilang cinta?"
"Setelah sampai di semesta imajinasi?"
"Kenapa kamu juga bertanya."
"Karena kita imajinasi."
"Artinya, kita, spirit dari nilai imajinasi?"
"Aku tak punya jawaban untuk itu."
"Bertanya pada siapa?"
"Senantiasa pada imajinasi."
"Mungkin atau barangkali."
"Bisa keduanya. Bisa juga tidak."
Keduanya berawang-ngawang di awang-awang lebih ringan dari kapas selembut itu imajinasi menyayangi, multiwarna cahaya berlanjut peraduan terhampar kerlap kerlip. Blink!
***
Jakarta Kompasiana, Januari 31, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.