terlihat dari bangunan rumah yang megah, perabot dalam ruangan yang bermacam macam, sepeda motor keluaran terbaru pun banyak mengiasi halaman rumah mereka, menandakan persaingan dalam masyarakatnya semakin ketat. mayoritas pekerjaan penduduk disini adalah dagang, apalagi ditunjang dengan jiwa merantunya yang sangat kuat. jadi maklum jika dikampung banyak kita jumpai para wanita dan anak anak. mereka para laki laki dewasa pergi merantau untuk menafkahi anak istrinya dirumah.
disisi lain ketika berkunjung ke salah satu sahabat lama bapak, kuparkir mobil didepan halaman rumah itu sungguh tecengan aku melihatnya . sebuah pemandangan yang brbalik dari keadaan yang terjadi. sebuah kesederhanaan yang sebenarnya mungkin pantas dikatakan seperti itu. ditengah menggeliatnya persaingan masyarakat yang cenderung pada urusan ekonomi dan penampilan, sosok seorang pak Karmun sungguh berbeda. rumah yang tetap pada keadaan semula tanpa lantai kramik atau semen, sepeda onthel legendarisnya yang sampai saat ini masih setia mengantarkan pak karmun setiap pagi untuk mengabdi pada lembaga pendidikan dikampung itu, terlihat sama sekali tidak ada perubahan. walaupun dengan hitungan rupiah pak karmun mampu untuk merubah penampilannya. namun yang perlu mandapatkan acungan jempol adalah perjuangannya menyekolahkan anak anaknya adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar. terbukti ketiga anaknya kini masih dalam proses belajar di kampus bergengsi di jakarta, yogya dan surabaya. dalam obrolannya dengan bapak terdengar kata katanya "kulo niki namung tiang alit, wontene nggeh ngeteniki badhe disangoni nopo maleh nek mboten disangoni 'ilmu....? sawah nggeh namung sak monten" saya ini hanya orang kecil, adanya cuma seperti ini mau dibekali apa lagi kalo tidak dibekali 'ilmu....? padahal kalau dilihat sawahnya saja lebih dari lima hektar kepunyaanya. (ukuran di desa sudah sangat luas lho....)